Analisis Film ‘Vina Sebelum 7 Hari’ dan Fenomena Crimetainment
Film “Vina: Sebelum 7 Hari” telah mengemuka sebagai pemicu perhatian kembali masyarakat terhadap kasus nyata pemerkosaan dan pembunuhan Vina Dewi Arsita serta Muhammad Rizky atau yang akrab disapa Eki (16) di Cirebon pada 2016. Dengan lebih dari 5 juta penonton pada Rabu (22/5/2024), film ini berhasil mencuri perhatian luas. Selain itu, film ini juga diakui berhasil mempercepat langkah kepolisian dalam menangkap Pegi Perong, salah satu dari tiga buronan dalam kasus tersebut, di Bandung, Jawa Barat.
Cerita yang dipaparkan dalam film ini, meskipun menimbulkan pro dan kontra, berhasil menghidupkan kembali kesadaran publik terhadap kasus yang belum sepenuhnya terungkap. Dengan penggarapan yang intens dan adegan-adegan kontroversial, film ini menggambarkan dinamika dan kompleksitas kasus tersebut.
“Crimetainment”
Film “Vina: Sebelum 7 Hari” adalah contoh nyata dari fenomena “crimetainment” di Indonesia. Crimetainment, yang merupakan gabungan dari kata “crime” dan “entertainment,” menggambarkan tren media yang memadukan unsur kriminalitas dengan hiburan. Fenomena ini seringkali tampak dalam film, serial televisi, dan dokumenter yang mengangkat kasus kriminal nyata dengan pendekatan dramatis untuk menarik perhatian publik. Crimetainment memiliki daya tarik tersendiri karena menggabungkan rasa ingin tahu, adrenalin, dan empati penonton terhadap korban serta pelaku kejahatan. Crimetainment memiliki dampak ganda terhadap penegakan hukum.
Di satu sisi, film seperti “Vina: Sebelum 7 Hari” dapat meningkatkan kesadaran masyarakat tentang kasus-kasus kriminal yang belum terselesaikan dan mendorong aparat penegak hukum untuk bertindak lebih cepat dan tegas. Film ini telah berhasil menarik perhatian kembali pada kasus pembunuhan Vina dan mendorong penyelidikan lebih lanjut terhadap tiga pelaku yang masih buron. Namun, di sisi lain, crimetainment juga dapat memunculkan risiko eksploitasi tragedi pribadi untuk tujuan komersial. Adegan-adegan kekerasan dan pemerkosaan dalam film ini, misalnya, menuai kritik karena dianggap tidak sensitif terhadap keluarga korban dan berpotensi mengeksploitasi penderitaan mereka demi rating dan keuntungan finansial.
Tinjauan “Cultural Studies”
Dalam mengkaji fenomena crimetainment, khususnya dalam konteks film “Vina: Sebelum 7 Hari”, penting untuk merefleksikan film tersebut dengan pendekatan cultural studies. Cultural studies adalah pendekatan interdisipliner yang mempelajari bagaimana budaya memengaruhi dan membentuk masyarakat. Pendekatan ini mempertimbangkan berbagai aspek seperti identitas, kekuasaan, ideologi, dan representasi. Pertama, Representasi dan Ideologi. Crimetainment sering kali menyoroti bagaimana kasus kriminal direpresentasikan dalam media. Dalam film “Vina: Sebelum 7 Hari,” representasi Vina sebagai korban dan para pelaku kejahatan menjadi pusat perhatian.
Film ini tidak hanya memaparkan kisah kriminal, tetapi juga membentuk cara pandang masyarakat terhadap korban dan pelaku. Dalam perspektif cultural studies, penting untuk mengeksplorasi bagaimana film ini mengkonstruksi identitas korban dan pelaku, serta ideologi apa yang disebarkan melalui representasi tersebut. Apakah film ini memperkuat stereotip tertentu atau membuka ruang untuk diskusi yang lebih kritis tentang keadilan dan korban kekerasan? Kedua, Komodifikasi Tragedi. Salah satu kritik utama terhadap crimetainment adalah komodifikasi tragedi, di mana penderitaan individu atau kelompok diubah menjadi produk komersial untuk konsumsi publik. Dalam kasus “Vina: Sebelum 7 Hari,” kisah tragis Vina Dewi Arsita diangkat ke layar lebar dan dikemas sedemikian rupa untuk menarik minat penonton.
Cultural studies menyoroti bagaimana praktik ini tidak hanya menghasilkan keuntungan finansial, tetapi juga memengaruhi cara masyarakat memahami dan merespons tragedi. Komodifikasi semacam ini dapat menimbulkan pertanyaan etis tentang sensitivitas terhadap keluarga korban dan implikasi moral dari mengkomersialisasi penderitaan seseorang. Ketiga, Kekuasaan dan Pengaruh Media. Media memiliki kekuatan besar dalam membentuk opini publik dan memengaruhi tindakan sosial. Crimetainment, melalui film seperti “Vina: Sebelum 7 Hari,” dapat meningkatkan kesadaran publik tentang kasus kriminal tertentu dan mendorong tindakan lebih lanjut dari penegak hukum. Film ini memperkuat adagium “No Viral No Justice”. Pengungkapan kasus hukum akan lebih efektif, jika jadi bahan percakapan media, khususnya media sosial. Namun, kekuatan ini juga datang dengan tanggung jawab untuk menyajikan informasi secara akurat dan etis.
Analisis cultural studies menyoroti bagaimana kekuasaan media digunakan untuk membentuk narasi dan bagaimana hal ini dapat memengaruhi tindakan kolektif dan individu. Dalam konteks film ini, penting untuk mengevaluasi sejauh mana representasi kasus Vina mendorong penegakan hukum yang lebih efektif versus sejauh mana ia hanya menambah popularitas dan keuntungan komersial. Secara keseluruhan, dampak sosial dan budaya dari crimetainment melalui film “Vina: Sebelum 7 Hari” sangat signifikan. Film ini tidak hanya menghibur, tetapi juga berfungsi sebagai alat edukasi dan advokasi yang dapat memengaruhi persepsi, nilai, dan norma sosial tentang keadilan, kekerasan seksual, dan hak-hak korban. Dengan meningkatkan kesadaran publik dan mendorong perubahan sosial, crimetainment memiliki potensi untuk memberikan kontribusi positif bagi m