Anggota DPR : RUU Penyiaran Dibuat untuk Mengharmonisasi UU Ciptaker
Anggota Komisi I DPR RI, Muhammad Farhan, menjelaskan bahwa Rancangan Undang-Undang (RUU) tentang Penyiaran awalnya bertujuan untuk mengharmonisasi Undang-Undang Cipta Kerja (Ciptaker) yang mencakup poin-poin terkait dengan penyiaran.
DPR memandang RUU tentang Penyiaran sebagai suatu kewajiban yang harus dibahas di lembaga legislatif tersebut.
“Khususnya klaster penyiaran untuk pasal analog switch off,” ujar Farhan dalam keterangannya yang diterima di Jakarta, pada hari Kamis.
Dalam UU Cipta Kerja, disebutkan bahwa penyelenggaraan penyiaran mengikuti perkembangan teknologi, termasuk migrasi dari teknologi analog ke teknologi digital, atau yang dikenal dengan analog switch off.
Selain itu, kata dia, RUU Penyiaran bermula dari persaingan politik antara lembaga berita melalui platform terestrial versus jurnalisme platform digital. Oleh karena itu, RUU Penyiaran memuat peran Komisi Penyiaran Indonesia (KPI).
“Jadi, revisi UU yang ada ini atau draf RUU yang ada sekarang, itu memang memberikan kewenangan KPI terhadap konten lembaga penyiaran terestrial,” ungkapnya.
Saat ini, pembahasan RUU Penyiaran di DPR telah dipastikan ditunda berdasarkan pernyataan Badan Legislasi DPR RI. Ke depannya, dia meminta pembahasan RUU tersebut melibatkan publik agar hasilnya lebih sempurna.
“Jika pintu revisi dibuka, wajar masuk juga ide-ide lain dalam revisi tersebut,” kata legislator dari Dapil Jawa Barat I tersebut.
Sebelumnya, Ketua Badan Legislasi DPR RI, Supratman Andi Agtas, mengungkapkan bahwa lembaganya menunda pembahasan RUU tentang Perubahan Kedua atas Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2002 tentang Penyiaran.
Supratman mengemukakan alasan penundaan pembahasan RUU Penyiaran karena lembaganya tidak ingin kemerdekaan pers terganggu.
Menurut dia, pers adalah lokomotif dan salah satu pilar demokrasi yang harus dipertahankan.
“Itu harus dipertahankan karena itu buat demokrasi,” kata Supratman, pada hari Selasa.