Anggota Komisi II : Pendidikan Tingkat SMA Tidak Cukup untuk Indonesia Emas
Guspardi Gaus, anggota Komisi II DPR RI, mengemukakan pandangan penting mengenai peran pendidikan tinggi dalam upaya mewujudkan Indonesia Emas 2045 dan menjadikan bangsa Indonesia mampu bersaing secara global. Menurutnya, pendidikan hingga tingkat SMA/SMK saja tidaklah cukup untuk mencapai tujuan tersebut.
Guspardi menegaskan bahwa anak-anak Indonesia harus memiliki akses yang luas dan merata terhadap pendidikan tinggi. Pernyataannya ini merespons klaim dari Sekretaris Direktorat Jenderal Pendidikan Tinggi Kemendikbudristek, Tjitjik Sri Tjahjandarie, yang menganggap perguruan tinggi sebagai kebutuhan tersier dan hanya sebagai pilihan.
Guspardi menyatakan kekecewaannya atas pernyataan tersebut, yang dinilainya dapat melukai perasaan anak bangsa serta mengurangi minat untuk mengejar pendidikan tinggi. Dia juga mencatat bahwa pernyataan tersebut muncul sebagai tanggapan terhadap protes mahasiswa terkait kenaikan biaya UKT dan IPI secara drastis dan tiba-tiba di beberapa perguruan tinggi.
Menurut Guspardi, sebagai perwakilan pemerintah dalam bidang pendidikan tinggi, seharusnya tugas Tjitjik Sri Tjahjandarie adalah mendorong agar pendidikan tinggi lebih terjangkau bagi semua kalangan masyarakat. Dia menilai pernyataan Tjitjik sebagai diskriminatif, menggambarkan pendidikan tinggi hanya untuk mereka yang mampu secara finansial.
Guspardi menegaskan bahwa pemerintah memiliki tanggung jawab untuk memastikan semua warga negara Indonesia memiliki akses yang setara terhadap pendidikan. Dia mengutip UUD 1945 yang menegaskan bahwa salah satu tujuan berdirinya NKRI adalah untuk mencerdaskan kehidupan bangsa. Lebih lanjut, Pasal 28 ayat C UUD 1945 menegaskan hak setiap individu untuk mengembangkan diri melalui pendidikan.
Dia meminta agar pernyataan yang mengklasifikasikan pendidikan tinggi sebagai kebutuhan tersier dicabut, karena hal itu dapat memperkuat persepsi bahwa pendidikan tinggi hanya untuk golongan mampu. Dia juga mengingatkan para pejabat publik yang terlibat dalam masalah pendidikan tinggi untuk lebih berhati-hati dalam menyampaikan pernyataan, agar tidak menimbulkan protes dan polemik yang tidak perlu.
Sebelumnya, Tjitjik Sri Tjahjandarie menyatakan bahwa perguruan tinggi termasuk dalam klasifikasi pendidikan tersier, bukan sebagai kewajiban belajar seperti program 12 tahun yang mencakup SD, SMP, dan SMA. Menurutnya, masuknya perguruan tinggi adalah pilihan, bukan kewajiban. Namun, pemerintah telah mengatur adanya UKT golongan satu dan dua minimal 20 persen di setiap perguruan tinggi negeri untuk memastikan aksesibilitas pendidikan yang lebih luas.