Bawaslu : Pemberi dan Penerima Politik Uang di Pilkada 2024 Terancam Pidana
Badan Pengawas Pemilihan Umum (Bawaslu) menegaskan bahwa pemberi dan penerima uang selama Pemilihan Kepala Daerah (Pilkada) Serentak 2024 sama-sama terancam pidana. Menurut anggota Bawaslu RI, Lolly Suhenty, ada perbedaan ketentuan terkait money politic antara pemilu dan pilkada.
“Pada pemilihan (pilkada), baik pemberi maupun penerima politik uang terancam sanksi pidana,” jelas Lolly melalui keterangan tertulis pada Rabu (24/7).
Ia menjelaskan bahwa larangan politik uang saat pilkada diatur dalam Pasal 73 ayat (4) Undang-Undang Nomor 10/2016 tentang Pilkada. Pihak yang memberi atau menjanjikan uang maupun materi lain sebagai imbalan mencakup pasangan calon, anggota partai politik, tim kampanye, atau relawan.
Politik uang dilarang untuk mempengaruhi pemilih dalam menggunakan hak pilih, menggunakan hak pilih dengan cara tertentu sehingga mengakibatkan suara tidak sah, serta mempengaruhi pemilih untuk memilih calon tertentu atau tidak memilih calon tertentu.
Adapun sanksi politik uang saat pilkada diatur melalui Pasal 187A ayat (1). Pemberi, menurut beleid tersebut, dipidana dengan pidana penjara paling singkat 36 bulan dan paling lama 72 bulan serta denda paling sedikit Rp200 juta dan paling banyak Rp1 miliar.
“Pidana yang sama diterapkan kepada pemilih yang dengan sengaja melakukan perbuatan melawan hukum dengan menerima pemberian atau janji sebagaimana dimaksud pada ayat (1),” bunyi Pasal 187A ayat (2).
Direktur Democracy and Electoral Empowerment Partnership (DEEP), Neni Nur Hayati, mengatakan bahwa dalam pemilu, ancaman pidana politik uang hanya menyasar pada tim kampanye yang tercatat di KPU maupun peserta pemilu.
Regulasi terkait ancaman pidana bagi pemberi dan penerima politik uang saat Pilkada 2024, menurut Neni, menjadi angin segar karena subjek hukumnya luas dan tidak sempit seperti dalam pemilu.
“Di pilkada, subjeknya setiap orang. Maka setiap orang bisa terkena pidana baik itu pemberi atau penerima. Hanya sayangnya, kondisi di lapangan sering kali konstitusi ini diselewengkan, masyarakat yang terkena pidana tetapi pemberinya berkeliaran,” tandasnya.