BRIN : Pengembang Kota Satelit Harus Memperhitungkan Pengolahan Sanitasi
Bandung, Penjuru – Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN) menyatakan bahwa pengembangan kota-kota satelit baru yang padat penduduk harus memperhitungkan pembangunan sanitasi atau pengolahan limbah yang memadai agar tidak mencemari air tanah dan air baku.
Mego Pinandito, Deputi Bidang Kebijakan Pembangunan BRIN, mengatakan bahwa sanitasi harus terpusat agar proses pengelolaan menjadi lebih mudah dan tidak terpisah, di mana setiap rumah memiliki satu tangki septik.
“Pengembangan kota-kota satelit baru atau daerah pemukiman yang baru harus memperhatikan sistem pengelolaan limbah seperti septic tank yang terpusat,” ujarnya dalam Forum Merdeka Barat di Jakarta, pada hari Rabu.
Mego menjelaskan bahwa standar minimal jarak antara sumber air atau sumur dengan tangki septik adalah 10 meter. Jika jarak tersebut terlalu pendek, sumur dapat tercemar oleh berbagai bakteri dari tangki septik dan menjadi tidak higienis.
Menurutnya, pengembangan jaringan pipa transmisi air baku yang merata ke seluruh lapisan masyarakat dapat mengatasi eksploitasi air tanah dan mengatasi tantangan krisis air di kawasan perkotaan.
“Kota-kota besar dengan penduduk padat membutuhkan dukungan dari sistem perpipaan atau PDAM yang besar, yang membutuhkan sumber air baku,” kata Mego.
Dia juga menyoroti pentingnya menjaga kebersihan dan kualitas sungai sebagai sumber air baku. Sebagai contoh, Mego mengungkapkan bahwa di Surabaya, sumber air baku yang diterima melalui jaringan pipa transmisi berasal dari Sungai Bengawan Solo yang terletak di Jawa Tengah.
Mego menekankan bahwa sinkronisasi kebijakan pengelolaan air baku tidak hanya melibatkan pemerintah daerah, tetapi juga berbagai sektor lainnya.
“Krisis air memaksa kita menggunakan air tanah karena sistem perpipaan melalui PDAM masih kurang. Oleh karena itu, upaya-upaya pembangunan sanitasi komunal dan pengembangan jaringan pipa terus dikembangkan,” tambah Mego.