Dampak Mengkhawatirkan Gelombang PHK di Indonesia Terasa di Dompet Warga
Tren pemutusan hubungan kerja (PHK) yang melanda Indonesia dalam beberapa bulan terakhir telah menyebabkan penurunan daya beli masyarakat, yang berdampak pada fenomena deflasi atau penurunan harga-harga barang selama dua bulan berturut-turut. Berdasarkan data Badan Pusat Statistik (BPS) per Juni 2024, indeks harga konsumen (IHK) mengalami deflasi sebesar 0,08% secara bulanan (month to month/mtm), angka ini menunjukkan penurunan lebih dalam dibandingkan deflasi sebesar 0,03% mtm pada Mei 2024.
Dewan Pakar Asosiasi Pengusaha Indonesia (Apindo), Danang Girindrawardana, dalam Program Profit CNBC Indonesia yang dikutip pada Selasa (2/7/2024), menjelaskan bahwa industri padat karya telah melakukan PHK terhadap puluhan ribu karyawan dalam dua tahun terakhir. Hal ini berdampak pada melemahnya daya beli para karyawan yang kehilangan pekerjaan.
Menurut data dari Kementerian Ketenagakerjaan, periode Januari-Mei 2024 mencatatkan 27.222 tenaga kerja terdampak PHK, meningkat 48,48% dibandingkan periode yang sama tahun lalu yang mencatatkan 18.333 PHK. Data tersebut belum menjelaskan sektor mana yang paling banyak mengalami PHK, namun data Asosiasi Pertekstilan Indonesia (API) menunjukkan bahwa sektor industri saja telah mengalami PHK terhadap 10.800 tenaga kerja per Mei 2024.
“Ini memerlukan perhatian yang sangat serius,” tegas Danang.
Ekonom dan Guru Besar Fakultas Ekonomi dan Bisnis (FEB) Universitas Indonesia (UI), Telisa Aulia Falianty, menambahkan bahwa gelombang PHK yang melanda belakangan ini dan dampaknya terhadap daya beli masyarakat serta munculnya tren deflasi telah tergambar dari berbagai indikator utama. Misalnya, Indeks Keyakinan Konsumen (IKK) berdasarkan Survei Konsumen Bank Indonesia menunjukkan penurunan optimisme konsumen di berbagai kelompok pengeluaran.
Untuk kelompok pengeluaran Rp 1-2 juta, indeks turun dari 117,2 pada April 2024 menjadi 114,9 pada Mei 2024. Kelompok pengeluaran Rp 2,1-3 juta turun dari 123,1 menjadi 119,6, kelompok Rp 3,1-4 juta turun dari 130 menjadi 127,4, kelompok Rp 4,1-5 juta turun dari 132 menjadi 129,1, dan kelompok pengeluaran di atas Rp 5 juta turun dari 132,8 menjadi 127,8.
“Daya beli berkurang karena banyak yang terkena PHK, tabungan menipis, dan konsumsi juga menurun,” ujar Telisa.
Selain dampak PHK, Telisa menyebutkan bahwa tingginya suku bunga acuan juga memperburuk tekanan pada daya beli. Hal ini terlihat dari peningkatan komposisi cicilan pinjaman terhadap pendapatan masyarakat dari 9,7% pada April 2024 menjadi 10,3% pada Mei 2024, berdasarkan data IKK BI.
Rasio cicilan pinjaman untuk kelompok pengeluaran Rp 1-2 juta meningkat dari 7,2% pada April 2024 menjadi 7,3% pada Mei 2024. Kelompok pengeluaran Rp 2,1-3 juta naik dari 9,2% menjadi 10,2%, kelompok Rp 3,1-4 juta dari 10,3% menjadi 11,2%, kelompok Rp 4,1-5 juta dari 12,3% menjadi 12,9%, sementara kelompok di atas Rp 5 juta turun dari 14,9% menjadi 13,9%.
“Kenaikan cicilan pinjaman ini mengurangi ruang untuk konsumsi, yang terlihat dari data IKK,” ungkap Telisa.