Dampak Sawit Ilegal pada Ekosistem Hidrologis Gambut
Organisasi non-pemerintah Pantau Gambut berfokus pada perlindungan dan keberlanjutan lahan gambut di Indonesia. Mereka telah menyuarakan kekhawatiran mereka tentang kelangsungan hidup pertanian kelapa sawit ilegal dan dampak yang ditimbulkannya pada ekosistem gambut.
Menurut Wahyu Perdana, Manajer Advokasi dan Kampanye Pantau Gambut, pemutihan perkebunan kelapa sawit ilegal di kawasan hidrologis gambut dapat memperburuk risiko kebakaran hutan dan lahan, serta konsekuensi ekologi lainnya. Dari total luas perkebunan kelapa sawit yang dimaksudkan untuk diputihkan, sekitar 13-14 persen—atau sekitar 407.267 hektar—terletak di kawasan hidrologis gambut, menurut Observasi Gambut.
Di antara perkebunan kelapa sawit ini, 72% berada dalam kategori rentan terbakar tingkat sedang, dan 27% berada dalam kategori rentan terbakar tingkat tinggi. Selain itu, 91,64% pemegang izin konsesi yang harus melakukan pemulihan ekosistem gambut akibat kebakaran hutan dan lahan gagal melakukan restorasi di lokasi.
Dari 32 perusahaan sawit yang beroperasi secara ilegal di kawasan hidrologis gambut, hanya lima di antaranya beroperasi sebagai perkebunan kelapa sawit, sementara 27 perusahaan lainnya beroperasi di dalam ekosistem gambut dengan fungsi lindung. Pelanggaran terhadap regulasi yang mengatur perlindungan dan pengelolaan ekosistem gambut ditunjukkan oleh Observasi Gambut.
Selain itu, menurut data Pantau Gambut dan Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK), sebelas grup korporasi yang terlibat dalam skema pemutihan di kawasan hidrologis gambut memiliki catatan luasan area yang terbakar selama kebakaran hutan dan lahan antara tahun 2015 dan 2020. Best Agro Plantation, Soechi, dan Citra Borneo adalah beberapa perusahaan yang tergabung dalam grup ini.
Selain dampak lingkungan, Pantau Gambut juga menemukan bahwa pemegang lahan perkebunan kelapa sawit ilegal, yang didukung oleh lembaga jasa keuangan, adalah pemain besar dalam industri kelapa sawit Indonesia. Perkumpulan Transformasi untuk Keadilan Indonesia, Tuk Indonesia, menemukan bahwa ada 25 kelompok perusahaan besar yang menguasai lahan perkebunan seluas 3,9 juta hektare di Indonesia, dengan Sinar Mas, Salim, Jardine Matheson, Wilmar, dan Surya Dumai Group menjadi pemain utama.
Untuk mengatasi masalah ini, penegakkan regulasi penting, melindungi ekosistem gambut yang sangat rentan terhadap kebakaran hutan dan lahan, dan memastikan bahwa perusahaan-perusahaan terkait mematuhi upaya pemutihan dan pemulihan ekosistem.