Gapki Sejalan dengan Sikap Pemerintah Terkait Kebijakan EUDR
Asosiasi Pengusaha Kelapa Sawit Indonesia (Gapki) menyatakan ketidaksetujuannya terhadap kebijakan European Union Deforestation Regulation (EUDR), juga dikenal sebagai Undang-Undang Anti Deforestasi yang dilaksanakan oleh Uni Eropa. Azis Hidayat, Ketua Bidang Perkebunan Gapki, mengeluarkan pernyataan ini dalam sebuah diskusi di Jakarta.
Gapki mengklaim bahwa mereka mengikuti instruksi pemerintah Indonesia dan akan menentang kebijakan tersebut jika pemerintah menentangnya. Terlepas dari fakta bahwa Indonesia dianggap sebagai produsen minyak kelapa sawit terbesar di dunia, produksi minyak sawit yang tidak berkelanjutan menjadi perhatian global, terutama setelah Uni Eropa memberlakukan EUDR.
Setiap eksportir diwajibkan oleh EUDR untuk menjamin bahwa barang mereka tidak berasal dari wilayah yang mengalami penggundulan hutan atau deforestasi. Jika ini terjadi, eksportir dapat dikenakan denda hingga 4 persen dari pendapatan mereka di Uni Eropa. Minyak sawit dan produk turunannya, arang, kakao, kopi, kedelai, daging sapi, kayu, karet, kertas, dan kulit adalah produk yang terkena dampak EUDR.
Sebuah sumber dari Kementerian Luar Negeri, Emilia H Elisa, Staf Kerja Sama Intrakawasan dan Antarkawasan Amerika dan Eropa, menyatakan bahwa keputusan EUDR tidak melibatkan negara produsen secara resmi, termasuk Indonesia. Akibatnya, pemerintah Indonesia dapat dianggap “tidak mematuhi” kebijakan tersebut.
Penting untuk diingat bahwa, terutama bagi petani kecil, penerapan EUDR memiliki konsekuensi yang beragam. Mereka berisiko terisolasi dari rantai pasokan. Emilia menekankan pentingnya mendukung Rencana Aksi Nasional Perkebunan Kelapa Sawit Berkelanjutan (RAN-KSB) untuk mengatasi berbagai masalah yang terkait dengan pelaksanaan Indonesia Sustainable Palm Oil (ISPO).
Tauhid Ahmad, Direktur Eksekutif Institut untuk Pengembangan Ekonomi dan Keuangan (Indef), mengatakan bahwa untuk mempercepat peningkatan ISPO, tracability atau pelacakan harus diterapkan dengan baik. Ia menekankan bahwa proses sertifikasi bukanlah hal yang mudah, tetapi harus mencakup pemahaman yang jelas tentang proses budidaya, mekanisme di Pabrik Kelapa Sawit (PKS), dan pemenuhan aspek ekonomi, sosial, dan lingkungan.