Jangan Sampai PPN Naik Jadi 12%, Warga RI Bisa Merana!
Ekonom senior dari Universitas Indonesia, Faisal Basri, menilai bahwa rencana pemerintah untuk menaikkan tarif Pajak Pertambahan Nilai (PPN) menjadi 12% pada tahun 2025 di tengah pelemahan daya beli dan melemahnya rupiah perlu ditunda. Ia berpendapat bahwa alih-alih menaikkan PPN sesuai dengan Undang-Undang Harmonisasi Peraturan Perpajakan (UU HPP), sebaiknya pemerintah mempertimbangkan penerapan Windfall Profit Tax.
Faisal meyakini bahwa kenaikan PPN akan semakin membebani rakyat yang sudah merasakan dampak dari tingginya harga kebutuhan pokok akibat pelemahan rupiah yang kini berada di kisaran Rp 16.000 per dolar AS. Ini disebabkan oleh ketergantungan impor bahan pangan seperti beras, gula, gandum, terigu, dan garam.
“Nah makanya, yang diuntungkan itu diambil sebagian untuk kompensasi bagi yang dirugikan, sehingga daya beli masyarakat bisa tetap stabil. Tekanan akibat perang Ukraina sudah dirasakan masyarakat dalam bentuk kenaikan harga karena kebutuhan pangan kita banyak yang diimpor dan kita sudah defisit,” tegas Faisal.
Menurutnya, kenaikan PPN diperkirakan hanya akan meningkatkan penerimaan negara sebesar Rp 50 triliun. Namun, dengan menerapkan Windfall Profit Tax, potensi penerimaan bisa mencapai Rp 250 triliun.
Ketua Komite Perpajakan Apindo, Siddi Widyaprathama, juga menilai bahwa peningkatan tarif pajak sebaiknya tidak dilakukan saat ekonomi sedang lemah. Ia menyarankan agar pemerintah menunggu 1-6 bulan jika ada program kenaikan pajak, dengan memperhatikan kondisi ekonomi.
Ekonom Institute for Development of Economics and Finance (Indef), Abdul Manap Pulungan, mengatakan bahwa meskipun kenaikan PPN dirancang untuk meningkatkan penerimaan, kebijakan ini belum tepat untuk dilaksanakan saat ini. “Kalau PPN itu dinaikkan ketika ekonomi sudah rebound, tidak masalah. Namun, situasinya sekarang adalah ekonomi kita belum pulih sepenuhnya dari pandemi,” kata Abdul Manap.