Kemendikbudristek Mendorong Perhatian Satuan Pendidikan terhadap Siswa dengan Kondisi Khusus
Kementerian Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi (Kemendikbudristek) menegaskan pentingnya perhatian terhadap kebutuhan siswa yang memiliki kondisi khusus agar dapat menciptakan lingkungan belajar yang inklusif dan non-diskriminatif.
Aswin Wihdiyanto, Pelaksana Tugas Direktur Pendidikan Masyarakat dan Pendidikan Khusus Kemendikbudristek, dalam sebuah konferensi pers di Jakarta, Kamis, menyatakan komitmen untuk memastikan bahwa setiap anak, termasuk yang memiliki kebutuhan khusus seperti autisme, mendapatkan akses pendidikan yang sesuai dengan potensi dan karakteristiknya.
Pemerintah terus mendukung penciptaan lingkungan belajar inklusif melalui kebijakan dan dasar hukum yang menegaskan prinsip kesetaraan dalam pendidikan. Salah satu inisiatif yang diambil adalah Kurikulum Merdeka Belajar, yang memungkinkan penyesuaian pembelajaran sesuai dengan kebutuhan masing-masing peserta didik.
Selain itu, pelayanan pendidikan berkualitas untuk anak-anak berkebutuhan khusus ditingkatkan melalui pendekatan berjenjang dan pendirian pusat layanan seperti autism center.
Aswin juga menyebutkan beberapa regulasi yang menguatkan program-program inklusi, seperti Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2016 tentang Penyandang Disabilitas dan Permendikbud Nomor 48 Tahun 2023 tentang Akomodasi yang Layak untuk Peserta Didik Penyandang Disabilitas, yang mendorong pembentukan unit pelayanan khusus.
Meskipun demikian, Aswin menyoroti rendahnya tingkat kepedulian terhadap anak-anak berkebutuhan khusus di masyarakat, yang tercermin dari kasus penolakan anak-anak oleh sekolah. Stigma negatif terhadap autisme juga menjadi hambatan dalam memenuhi hak pendidikan anak-anak tersebut.
Maka dari itu, ia mengajak masyarakat untuk bekerja sama menciptakan lingkungan yang inklusif dan bebas dari diskriminasi. Aswin menegaskan pentingnya pemahaman yang lebih dalam tentang kebutuhan anak-anak berkebutuhan khusus serta penguatan pendampingan dari semua satuan pendidikan, termasuk sekolah reguler.
“Tantangan ini tidak mudah dan melibatkan banyak aspek, termasuk kesadaran, kepedulian masyarakat, dan perubahan pola pikir bahwa pendidikan adalah hak untuk semua. Kesiapan masyarakat dalam menyambut inklusi bukan hanya masalah kesiapan guru, tapi juga kesiapan masyarakat secara keseluruhan,” ungkapnya.