Kemenkop UKM : Koperasi Terbukti Dapat Bertahan dan Berhasil Mempertahankan Eksistensinya
RUU Koperasi dan Perkoperasian : Meningkatkan Daya Saing dan Kepercayaan
Ahmad Zabadi, Deputi Bidang Perkoperasian Kementerian Koperasi dan UKM (KemenKopUKM), berpendapat bahwa koperasi telah bertahan selama bertahun-tahun berkat kekuatan rakyat, menjadikannya badan usaha yang dikelola dengan asas gotong royong dan kekeluargaan.
Zabadi juga percaya bahwa separuh penduduk Indonesia akan menjadi anggota koperasi jika RUU Perkoperasian disahkan yang mencakup pendirian Lembaga Penjaminan Simpanan (LPS) Koperasi. Dia mengeluarkan keterangan resmi di Jakarta.
Dengan menyebutkan berbagai kemudahan kebijakan yang tersedia untuk koperasi, ia mendorong gerakan koperasi untuk tetap optimis. Ini terutama berlaku untuk koperasi dengan pola open loop dan diawasi oleh OJK, seperti lembaga perbankan. Ia percaya bahwa hal itu tidak akan membahayakan koperasi.
Contohnya adalah PBMT Indonesia, yang mampu mengonsolidasikan dana lebih dari Rp12 triliun dan memiliki jumlah anggota yang terus meningkat secara signifikan, mencapai 3,4 juta orang. Zabadi yakin bahwa jika koperasi memiliki LPS, minat masyarakat terhadap koperasi akan meningkat.
Dengan penjaminan LPS, kepercayaan dan daya saing koperasi akan meningkat, kata Zabadi. Ini karena koperasi memiliki kemampuan untuk memberikan suku bunga lebih tinggi, sekitar 7–9 persen, dibandingkan dengan entitas keuangan lain yang hanya dapat memberikan sekitar 4 persen.
Namun, Zabadi merasa bingung dengan sikap beberapa anggota koperasi yang menolak kehadiran LPS. Dia percaya bahwa penolakan ini disebabkan oleh ketakutan untuk menyimpan uang di koperasi karena kurangnya jaminan. Menurutnya, daya saing dan kepercayaan terhadap koperasi dapat ditingkatkan dengan kehadiran LPS.
Zabadi menyatakan bahwa dalam situasi tertentu, Koperasi Simpan Pinjam (KSP) dilarang melakukan bisnis tambahan di sektor riil. Mereka hanya boleh melakukan spin-off atau menjalankan penelitian yang memverifikasi kelayakan ekonomi bisnis tambahan tersebut.
Sebagai contoh, Zabadi mengatakan bahwa Koperasi Syariah Benteng Mikro Indonesia (BMI) awalnya terbatas pada bisnis simpan pinjam, tetapi kemudian membentuk koperasi lain untuk mengembangkan bisnis di sektor riil. Dengan skema pengembangan ini, Zabadi percaya bahwa BMI dapat menjadi konglomerat, tetapi hanya melalui pengembangan bisnis secara horizontal daripada vertikal melalui spin-off.
Zabadi menemukan bahwa spin-off dalam bentuk koperasi dapat menjawab keraguan masyarakat tentang koperasi sebagai entitas bisnis modern. Oleh karena itu, ia menekankan bahwa spin-off usaha koperasi juga harus dilakukan dalam bentuk koperasi.