Dalam era digital, konten receh seringkali menjadi viral dan menciptakan kehebohan nasional. Warganet yang menyukai konten ini tampaknya memiliki tingkat literasi yang rendah, namun mereka berhasil mencapai status selebritas media sosial. Ada ungkapan bahwa “lakukan hal bodoh untuk menjadi terkenal,” yang mencerminkan hubungan antara selera tontonan dan literasi.
Di media sosial, kita mengenal dua jenis selera humor: “humor dolar” untuk mereka yang sulit tertawa pada lelucon sederhana, dan “humor receh” yang menyasar mereka yang mudah tertawa bahkan pada lelucon yang kurang lucu. Faktor seperti pendidikan, kecerdasan, dan lingkungan sosial memengaruhi selera humor seseorang.
Konten receh mendominasi media sosial, sementara konten edukatif dan inspiratif sering tenggelam. Menurut Achmad M. Masykur, dosen Fakultas Psikologi Universitas Diponegoro Semarang, masyarakat yang lelah mencari hiburan sederhana seperti konten receh. Konten-konten seperti “begitu syulit lupakan Rehan” dan “to ganjel to” menjadi viral karena warganet ingin tahu dan menirunya.
Algoritma media sosial memperkuat efek viral dengan terus menampilkan konten tersebut di lini masa pengguna. Warganet memiliki kendali untuk menghentikan atau melanjutkan, yang dapat memperkuat popularitas konten tersebut.
Meskipun konten receh memiliki tempatnya sebagai hiburan, berlebihan dapat berdampak pada gangguan psikologis atau hubungan interpersonal. Selera humor dipengaruhi oleh faktor seperti usia, pendidikan, kecerdasan, kepribadian, perspektif, dan lingkungan.
Humor dapat ditemukan di semua kelas sosial, termasuk dalam kalangan pejabat. Penting untuk menyelipkan humor dalam kehidupan kita karena memiliki dampak positif pada kesehatan fisik dan mental serta produktivitas.
Dalam dunia digital, kita perlu menyajikan humor yang berkualitas dan tidak hanya mengandalkan konten receh semata.