Menurut Riskon Fabiansyah, anggota Komisi III DPRD Kabupaten Kotawaringin Timur, Kalimantan Tengah, perlu ada ketegasan untuk memerangi eksploitasi anak-anak sebagai pengemis, yang dianggap sebagai pelanggaran hukum.
Di Sampit, Jumat, Riskon menekankan bahwa Pasal 76 dan 88 Undang-Undang Nomor 35 tahun 2014 tentang Perlindungan Anak mengharuskan hukuman 10 tahun dan/atau denda paling banyak Rp200 juta.
Politisi Partai Golkar ini memberikan pendapatnya tentang penyelidikan Satuan Polisi Pamong Praja Kotawaringin Timur mengenai dugaan eksploitasi anak di bawah umur yang digunakan sebagai pengemis di Sampit.
Seorang perempuan yang diduga sebagai koordinator pengemis cilik telah ditangkap oleh tim Satpol PP saat dia mengawasi anak-anak suruhannya mengemis di beberapa tempat di Sampit.
Terlihat dari kwitansi pembelian perhiasan, perempuan tersebut mengenakan perhiasan yang diperkirakan bernilai puluhan juta rupiah.
Kejadian ini menunjukkan adanya eksploitasi anak di Sampit, menurut rikon. Beberapa individu dengan sengaja memaksa anak-anak mereka untuk menjadi pengemis atau pengamen di jalanan dan mengambil keuntungan dari pekerjaan mereka.
Dia berharap pihak berwenang akan mengambil tindakan lebih lanjut. Tujuannya adalah mencegah kasus serupa terjadi lagi karena kasus serupa pernah terjadi beberapa waktu lalu, ketika pengemis ternyata memiliki mobil.
Dia menegaskan, “Kami berharap temuan ini dapat diteliti oleh pihak terkait untuk menentukan apakah benar ada eksploitasi anak.”
Menurut Riskon, kasus tersebut dapat menjadi dasar untuk menerapkan Undang-Undang Nomor 23 tahun 2014 tentang Penghapusan Kekerasan Dalam Rumah Tangga, khususnya pasal 9 dan 49. Pasal-pasal ini dianggap sebagai bentuk penelantaran anak untuk eksploitasi ekonomi dengan menjadikan mereka sebagai pengemis atau pengamen.
Harus disikapi dengan tegas agar menimbulkan efek jera dan pembelajaran. Jika tidak, hal-hal seperti ini mungkin terus terjadi. Riskon Fabiansyah menyatakan bahwa kasihan anak-anak menjadi korban.