KPPS, Para Pahlawan di Balik Gebyar Demokrasi
Di balik gemerlapnya acara demokrasi, terdapat sekelompok pahlawan yang bekerja tanpa henti, memastikan suara rakyat didengar. Mereka adalah Petugas Kelompok Penyelenggara Pemungutan Suara (KPPS).
Sumadi, Ketua KPPS di TPS 01 RT 1 Kelurahan Gunung Panjang, Samarinda, Kalimantan Timur, adalah salah satu dari pahlawan demokrasi ini. Meski matanya sembab dan wajahnya lelah, senyumnya tetap berseri.
Tugas mereka baru selesai pada Kamis (15/2) subuh pukul 04.00 waktu setempat. Meskipun begitu, semangat anggota KPPS tetap berkobar.
Sumadi dan timnya telah bekerja keras selama hampir 24 jam untuk memastikan kelancaran pemungutan dan penghitungan suara di TPS. Mereka menghadapi berbagai kendala, mulai dari perbedaan jumlah surat suara hingga lambatnya proses input data ke aplikasi Sirekap KPU.
Namun, Sumadi dan rekan-rekannya tidak gentar. Semangat mereka tidak pernah padam.
Untuk mengatasi risiko penyakit karena kelelahan, petugas KPPS mengonsumsi vitamin yang sudah disediakan dari dana logistik TPS.
Ini adalah upaya Sumadi dan timnya untuk meredakan kekhawatiran dan ketegangan. Mereka yakin bahwa tugas ini adalah bagian dari pengabdian kepada negara, mengawal proses demokrasi.
Sumadi adalah salah satu dari jutaan petugas KPPS yang bekerja penuh waktu di TPS, mulai dari persiapan hingga pengiriman hasil pemungutan suara. Sebagian besar dari mereka bekerja lebih dari 20 jam.
Jumlah petugas KPPS Pemilu 2024 yang direkrut KPU mencapai 5.741.127 orang, ditambah dengan dua petugas pengamanan, totalnya ada 7,38 juta orang yang mengawal langsung proses pemungutan suara pada Pemilu 2024.
Di Kutai Timur, Ismayanti, juga seorang petugas KPPS, merasakan hal yang sama. Dia dan timnya bahkan masih sibuk dengan proses input data ke aplikasi Sirekap hingga Kamis sore sekitar pukul 16.00 Wita.
“Kami sudah sehari semalam di sini dan belum selesai. Kami masih mengunggah aplikasi Sirekap,” kata Ismayanti.
Meski kelelahan tidak terelakkan, Ismayanti dan timnya telah bekerja lebih dari 24 jam di tempat pemungutan suara. Namun, mereka tetap teguh dalam memastikan semuanya berjalan dengan baik, termasuk memasukkan semua data suara ke aplikasi Sirekap KPU.
Tugas mulia
Meskipun kelelahan dan berbagai kendala, Sumadi, Ismayanti, dan jutaan petugas KPPS lainnya di seluruh Indonesia tetap teguh menjalankan tugas mereka. Karena sukses dalam menjalankan tugas penting bagi negara, mereka pantas dihormati sebagai pahlawan demokrasi.
Kerja keras para petugas KPPS sering kali terlupakan. Namun, di balik sukses acara demokrasi, mereka adalah aktor penting yang bekerja tanpa henti.
“Banyak yang tidak menyadari kerja keras kami. Kami di sini tidak hanya duduk-duduk, tapi ada banyak proses yang harus kami lalui,” kata Sumadi.
Meskipun sering kali mereka dikritik oleh saksi-saksi, bahkan dianggap tidak kompeten, mereka tetap sabar dan fokus pada tugas mereka.
Meski penuh dengan tantangan, menjadi petugas KPPS adalah tugas yang mulia. Mereka adalah penjaga demokrasi, memastikan suara rakyat tersalurkan dengan benar.
“Ini adalah tugas mulia. Kami membantu rakyat untuk memilih pemimpin mereka,” kata Sumadi.
Ismayanti menambahkan, “Saya merasa senang bisa membantu rakyat menentukan masa depan mereka.”
Para petugas KPPS adalah pahlawan demokrasi dan tulang punggung acara pemilu, demi memastikan suara rakyat didengar dan dihitung dengan benar.
Tanpa mereka, demokrasi tidak akan berfungsi dengan baik.
Menjaga Demokrasi dengan Pertaruhan Nyawa
Bayangkan harus tetap waspada selama 24 jam, menatap kotak suara yang tersusun rapi, sementara kantuk mulai mengintai dan perut terasa lapar. Petugas Kelompok Penyelenggara Pemungutan Suara (KPPS) tidak dapat sembarangan beristirahat, apalagi tidur lelap, karena semua mata rakyat tertuju pada mereka. Ini bukan adegan dari film thriller, melainkan kenyataan yang dihadapi oleh para petugas KPPS pada Pemilu 2024.
Namun, tidak semua petugas KPPS mampu bertahan dalam jam kerja yang sangat panjang dan membutuhkan konsentrasi penuh.
Nada Ernia, seorang gadis muda di Balikpapan, pingsan tak sadarkan diri. Tubuhnya tergerus oleh kelelahan setelah semalam penuh mengawal proses penghitungan suara. Di tempat lain, Rohani merasakan perih, maagnya kambuh karena tidak sempat makan, demi memastikan tidak ada kecurangan dalam penghitungan suara.
Ini bukan hanya kisah individu, tetapi gambaran dari perjuangan bersama para petugas KPPS yang menjadi detak jantung demokrasi.
Tidak dapat disangkal, Pemilu 2019 meninggalkan luka yang mendalam. Ratusan petugas KPPS gugur, menjadi korban dari dedikasi tanpa henti. Tragedi ini menjadi pemantik bagi Pemerintah untuk bertindak lebih sigap. Tim medis dipanggil, mengawasi kesehatan para petugas KPPS seperti tim penyelamat di medan perang.
Puskesmas siaga, ambulans bersiaga, semuanya untuk memastikan tidak ada lagi “pahlawan demokrasi” yang roboh.
Namun, perjuangan tidak hanya soal fisik belaka. Novi Niyasari, seorang ketua KPPS di Balikpapan, memimpin pasukan muda — yang sebagian besar adalah perempuan — melawan kantuk dan keraguan. Mereka tidak hanya menghitung suara, tetapi juga menjaga harapan, memastikan bahwa setiap suara rakyat memiliki makna. Generasi muda dan perempuan berdiri teguh, tidak gentar dalam membawa tanggung jawab yang besar.
Kisah-kisah ini tidak boleh dilupakan. Ini bukan sekadar berita, tetapi pengingat bahwa di balik keberhasilan pesta demokrasi, ada dedikasi yang dibayar dengan kelelahan, bahkan nyawa. Kisah ini tidak boleh diabaikan.
Mereka, para petugas KPPS, adalah detak jantung demokrasi. Dan para pemilih adalah darah yang mengalirkannya. Detak ini harus dijaga bersama, agar demokrasi Indonesia tetap berdenyut sehat dan bermartabat.
Mendapat Apresiasi yang Layak
Rudiansyah, Ketua KPU Kalimantan Timur, menghargai kerja keras para petugas KPPS. Dia memahami bahwa tidak banyak orang yang bersedia mengemban tugas mulia ini.
Beban kerja yang berat, ditambah dengan tekanan psikologis akibat tuduhan dan celaan, merupakan tantangan tersendiri bagi mereka.
“Pemilu adalah konsekuensi dari bentuk republik sebuah negara,” ujar Rudiansyah. KPPS memang dituntut untuk bekerja dengan benar. Namun, tidak jarang mereka masih mengalami kekurangan dan kesalahan dalam menjalankan tugas mereka.
Di balik kekurangan dan kesalahan tersebut, terdapat dedikasi dan integritas para petugas KPPS yang patut diacungi jempol. Mereka rela mengorbankan waktu, tenaga, bahkan kesehatan mereka demi memastikan suara rakyat tersalurkan dengan baik.
KPU Kaltim berkomitmen untuk menindaklanjuti dan memperbaiki kekurangan yang terjadi dalam penyelenggaraan pemilu. Rudiansyah menegaskan bahwa KPU akan terus memperbaiki diri agar penyelenggaraan pemilu di masa depan semakin baik.
Lebih dari itu, apresiasi dan dukungan dari masyarakat sangatlah dibutuhkan untuk meningkatkan semangat para petugas KPPS.
“Kita harus menyadari bahwa mereka adalah bagian penting dari demokrasi, dan tanpa mereka, suara rakyat tidak akan tersalurkan dengan baik,” kata Rudiansyah dengan optimisme bahwa KPU akan menerapkan demokrasi yang jujur, adil, dan berintegritas.
Sebelumnya, Penjabat Gubernur Kalimantan Timur, Akmal Malik, turun tangan memantau langsung dari TPS ke TPS untuk memastikan bahwa petugas KPPS bekerja dalam kondisi sehat. Dia juga mendorong petugas KPPS untuk menciptakan cara kreatif untuk meningkatkan partisipasi pemilih.
Sebagai penghargaan atas kerja keras petugas KPPS, ia akan memberikan hadiah kepada TPS yang mencapai tingkat partisipasi 90 persen.
“Ada hadiah khusus bagi mereka,” kata Akmal Malik.
Secara umum, Akmal Malik menargetkan partisipasi pemilih pada tahun 2024 sebesar 77,5 persen. Dia dengan bangga memberikan penghargaan kepada seluruh petugas KPPS di wilayahnya atas pengorbanan waktu dan tenaga mereka dalam menjalankan Pemilu 2024 dengan martabat.
Menyampaikan Harapan kepada Pemimpin Pilihan
Di tengah keramaian pesta demokrasi, suara dari pelosok negeri tidak pernah berhenti berbisik. Suara dari Desa Muara Enggelam, sebuah desa terpencil di Kalimantan Timur, yang terbelah oleh air dan kesunyian.
Di desa ini, musim hujan bukan hanya tentang air yang deras, tetapi juga tentang perjuangan anak-anak untuk mengejar ilmu.
Setiap pagi, mereka menaiki perahu kecil, menembus kabut pagi, menuju Sekolah Dasar Negeri 011 Muara Wis, Desa Muara Enggelam. Sekolah yang terapung di atas air, terbuat dari kayu, menjadi saksi bisu
dari perjuangan mereka.
“Enggak apa-apa, yang penting bisa belajar,” kata Zahra, salah seorang siswa, dengan polos. Banjir tidak menyurutkan semangat mereka. Di tengah segala keterbatasan, mereka tetap bersemangat untuk memperoleh ilmu pengetahuan.
Di dalam kelas yang sederhana, dengan papan tulis kayu dan bangku yang basah, mereka belajar dengan penuh semangat. Guru-guru mereka, para pahlawan tanpa tanda jasa, dengan dedikasi tinggi, mengajarkan ilmu di tengah segala keterbatasan.
“Belajar di rumah susah karena sinyal,” kata salah satu siswa. Internet, yang bagi banyak orang adalah akses mudah untuk belajar, masih merupakan barang langka di sini.
“Mereka sudah terbiasa mendayung sampan, tidak ada akses selain itu untuk menuju sekolah,” tambah Kepala SDN 011 di Muara Enggelam, Hery Cahyadi.
Setelah pemungutan suara yang baru-baru ini berlangsung, suara mereka bergema. Harapan mereka tertuju pada pemimpin negara, agar pemerataan pembangunan bukan hanya slogan, tetapi menjadi kenyataan.
Suara dari Desa Muara Enggelam, suara dari pelosok negeri, adalah pengingat bagi semua, bahwa pendidikan adalah hak semua anak bangsa, tanpa terkecuali. Di tengah gemerlap pembangunan, jangan sampai ada yang terlupakan.
Cerita ini adalah gambaran kecil dari perjuangan anak-anak di pelosok negeri. Pada saat proses rekapitulasi suara yang saat ini berlangsung oleh KPU, suara mereka seharusnya menjadi pengingat bahwa pendidikan adalah kunci untuk kemajuan bangsa.