Lebaran dan Etika Menghormati Para Pahlawan Pangan
Baru-baru ini, umat Islam merayakan Hari Raya Idul Fitri 2024. Di Indonesia, Idul Fitri sering kali dikaitkan dengan kelimpahan makanan dan minuman.
Fenomena ini bisa dimaklumi karena salah satu makna dari kata “fitri” berasal dari kata “ifthar”, yang berarti makan kembali setelah berpuasa dalam jangka waktu yang panjang. Ifthar kemudian diartikan sebagai waktu berbuka puasa.
Jadi, Idul Fitri bisa dipahami sebagai hari di mana makanan menjadi pusat perayaan, selain juga sebagai hari suci.
Menikmati hidangan saat Lebaran mengingatkan kita kepada siapa sebenarnya pemberi rezeki tersebut. Secara hakiki, pemberi rezeki adalah Tuhan Yang Maha Esa.
Namun, di balik itu semua, ada pihak-pihak yang menjadi perantara agar hidangan tersebut bisa sampai ke meja makan kita.
Mereka termasuk petani, peternak, pemasok benih dan pupuk, pedagang, ekspedisi, bahkan koki di dapur yang mengolah hidangan tersebut agar kita dapat menikmatinya.
Jika koki berada di rumah, maka itu adalah ibu atau asisten rumah tangga. Jika di warung atau restoran, itu adalah chef dan stafnya. Mereka bisa saja anggota keluarga, teman, tetangga, atau siapapun yang turut menyediakan hidangan.
Artikel ini bertujuan untuk mengajak kita pada saat Lebaran untuk membiasakan diri menghargai dan bersyukur kepada semua pihak yang telah menyediakan hidangan, dari hulu hingga hilir.
Dalam tradisi Islam, doa sebelum makan yang populer adalah yang tertulis dalam Kitab Al Azkar karya Imam Nawawi. Namun, doa tersebut terkesan hanya berfokus pada diri sendiri atau kelompok yang akan makan bersama, tanpa menyebutkan penghargaan kepada penyedia makanan.
Padahal, tradisi Islam begitu kaya. Kitab tersebut juga berisi beragam adab dan doa terkait dengan makanan dan minuman, termasuk menghormati para penyedia makanan.
Salah satu contohnya adalah doa setelah makan dalam sebuah jamuan, di mana umat Islam diajarkan untuk mendoakan para penyedia makanan agar diberkahi oleh Allah.
Ajakan ini sederhana, tetapi penting agar umat Islam terbiasa memuliakan makanan dan minuman serta mengucapkan terima kasih kepada para penyedia.
Masalah sampah makanan juga dibahas dalam artikel ini. Kiai M. Faizi dalam bukunya “Merusak Bumi dari Meja Makan” menyoroti pentingnya mempraktikkan adab makan dan minum agar tidak merusak lingkungan.
Dia mengingatkan bahwa sampah makanan, seperti nasi yang tercecer, sebenarnya merupakan bentuk pemborosan yang tidak patut dilakukan. Masalah sampah makanan juga menjadi kendala dalam mengatasi ketahanan pangan di Indonesia.
Tradisi Islam yang kaya terkait dengan makanan seharusnya mengingatkan kita pada pentingnya menghormati makanan dan para penyedia makanan. Sebagaimana halnya tradisi di Jepang, di mana ada ucapan hormat sebelum dan sesudah makan.
Pesan ini menjadi relevan kembali pada bulan Syawal, di mana kita bisa membiasakan diri untuk bersyukur kepada para penyedia pangan dan memuliakan makanan, sebagai tindakan yang sesungguhnya menunjukkan kedaulatan pangan sebuah bangsa.