Masyarakat Adat Papua Serahkan Petisi ke MA Terkait Kasus Hutan Adat
Pada Senin (22/7), masyarakat adat dari Suku Awyu di Papua Selatan dan Moi Sigin di Papua Barat Daya, bersama dengan para aktivis lingkungan, menyerahkan petisi berisi 253.823 tanda tangan kepada Mahkamah Agung (MA). Penyerahan ini bertujuan untuk mendukung perjuangan hukum suku Awyu dan Moi Sigin terkait dengan kasus lingkungan hidup yang mereka ajukan ke MA.
Petisi tersebut diterima oleh lima perwakilan dari MA, empat di antaranya berasal dari Humas MA. Sekar Banjaran Aji, advokat untuk Suku Awyu sekaligus juru kampanye hutan Greenpeace Indonesia, menyatakan bahwa tujuan penyerahan petisi ini adalah untuk menegaskan kepada Hakim Agung tentang pentingnya kasus ini bagi masyarakat adat.
“Dari pertemuan kami, kami mengungkapkan betapa pentingnya penyelamatan hutan untuk suku Awyu dan Moi. Kami berharap MA dapat berpihak pada keadilan untuk masyarakat adat,” ujar Sekar di lokasi.
Kepala Biro Humas MA, Sobandi, mengonfirmasi bahwa petisi tersebut telah diterima. Namun, Sekar menyoroti bahwa dari berbagai perkara yang diajukan ke MA, baru satu perkara yang telah mendapatkan nomor perkara, sementara proses untuk perkara lainnya masih belum jelas.
Sekar juga membandingkan kecepatan penanganan perkara di MA dengan kasus lain, seperti syarat usia minimal calon kepala daerah, yang diproses dengan sangat cepat. Ia menyayangkan bahwa kasus-kasus masyarakat adat memerlukan waktu yang jauh lebih lama untuk diproses, dan mengkritik birokrasi yang dianggap lambat dan berbelit-belit.
“Ketika masyarakat adat tidak mendapatkan keadilan, kita sebenarnya membuka pintu krisis lingkungan yang lebih besar. Hutan masyarakat adat adalah benteng terakhir kita menghadapi krisis iklim,” tegas Sekar.
Acara penyerahan petisi ini juga diwarnai dengan kehadiran masyarakat adat Papua yang mengenakan pakaian adat mereka. Beberapa figur publik juga hadir, termasuk Melanie Subono, Farwiza Farhan, Kiki Nasution, dan Pendeta Ronald Rischard Tapilatu. Mereka bersama dengan Badan Eksekutif Mahasiswa Fakultas Hukum Universitas Indonesia (FH UI), Extinction Rebellion, Ikatan Mahasiswa Papua (IMAPA), Yayasan Masyarakat Kehutanan Lestari (YMKL), dan berbagai kelompok lainnya. Dalam acara tersebut, mereka membawa spanduk dan poster yang bertuliskan pesan-pesan seperti “All Eyes on Papua” dan “Selamatkan Hutan Adat dan Manusia Papua”.
Gugatan yang diajukan oleh Hendrikus Woro, pejuang lingkungan hidup dari suku Awyu, berkisar pada izin lingkungan yang dikeluarkan Pemerintah Provinsi Papua untuk PT Indo Asiana Lestari (IAL), yang mengantongi izin untuk mengelola 36.094 hektare hutan adat milik suku Awyu. Selain itu, masyarakat adat Awyu juga sedang mengajukan kasasi terhadap keputusan Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK) terkait dua perusahaan sawit di Boven Digoel, serta sub suku Moi Sigin yang melawan PT Sorong Agro Sawitindo (SAS) atas pembabatan hutan adat mereka.