Menyelami Sikap Netral Nahdlatul Ulama dalam Pemilihan Umum 2024
Nahdlatul Ulama (NU), organisasi masyarakat terbesar di Indonesia dengan sekitar 150 juta anggota dan menyumbang 56,9 % dari 285 juta orang yang tinggal di negara itu, memiliki peran yang signifikan dalam politik. Ini memiliki banyak pengikut, yang membuatnya menarik bagi calon presiden dan wakil presiden dalam Pemilihan Umum 2024 yang akan datang.
Secara historis, Nahdlatul Ulama telah terlibat dalam politik praktis, membentuk partai politik setelah berpisah dengan Partai Masyumi pada tahun 1952 dan berpartisipasi dalam Pemilu 1955. Namun, pada akhirnya, mereka berhenti berpartisipasi secara aktif dalam politik dan kembali ke tujuan awal mereka sebagai organisasi sosial. Selama Musyawarah Nasional Ulama NU 1983 di Situbondo, Jawa Timur, keputusan untuk meninggalkan kegiatan politik diperkuat.
Badan Pimpinan Pusat Nahdlatul Ulama (PBNU) telah menetapkan untuk tidak mendukung kandidat mana pun secara eksplisit, terlepas dari fakta bahwa dua anggota Nahdlatul Ulama, Abdul Muhaimin Iskandar (Cak Imin) dan Prof. Mohammad Mahfud Mahmodin (Mahfud Md), mencalonkan diri sebagai calon wakil presiden pada Pemilu 2024.
Netral
Didirikan di Surabaya, Jawa Timur, NU menegaskan bahwa mereka tidak tertarik untuk mendukung partai politik atau kandidat tertentu. Nilai-nilai, bukan afiliasi politik atau individu, menentukan keterlibatan politik NU.
Prinsip-prinsip seperti keadilan, kesejahteraan, dan kemakmuran harus menjadi dasar politik, menurut PBNU. Dalam kongres yang diadakan di Krapyak, Yogyakarta pada tahun 1989, organisasi ini menetapkan sembilan pedoman politik, termasuk partisipasi warga negara dalam kehidupan nasional, politik yang didasarkan pada wawasan kebangsaan untuk menjaga integritas bangsa, dan politik sebagai kemerdekaan yang sebenarnya untuk kebaikan bersama.
Rekomendasi ini menunjukkan bahwa Nahdlatul Ulama masih tidak tertarik untuk secara eksplisit mendukung politik. Organisasi berusia seratus tahun ini menjalankan politik berdasarkan prinsip, menghindari mendukung politisi atau partai politik tertentu. Keterlibatan politik bertujuan untuk memperkuat kesepakatan nasional daripada melemahkannya, memastikan bahwa tindakan politik tidak mengorbankan kepentingan bersama atau memecah belah bangsa.
Memiliki basis massa yang luas, NU sangat penting dalam politik. Namun, mereka berusaha untuk membangun hubungan yang konstruktif dan bermartabat dengan tokoh politik. PBNU menekankan bahwa preferensi politik individu tidak dapat dipengaruhi oleh organisasi karena itu adalah keputusan pemilih.
Pemangku Kewenangan
Didirikan sebagai pemangku otoritas keagamaan di Nusantara, NU memiliki tujuan utama untuk menjaga otoritas keagamaan di Indonesia. Oleh karena itu, NU harus diorganisasi untuk mencapai kohesi dan kesatuan, mulai dari tingkat PBNU hingga tingkat terendahnya.
Sejak 2015, PBNU berfokus pada partisipasi dalam isu-isu peradaban nasional dan global. Upaya nyata untuk memperkuat NU sebagai pemegang otoritas keagamaan menegaskan perannya sebagai organisasi keagamaan dan kemasyarakatan atau “jam’iyyah diniyyah-ijtima’iyyah”.
PBNU mendorong anggotanya untuk menjalankan NU berdasarkan ideologi para pendiri, terutama Hadratus Syekh Hasyim Asy’ari. Untuk mencapai tujuan mulia ini, PBNU harus tetap bersatu dan kohesif melalui konsolidasi kepemimpinan dan organisasi.
Karena tantangan yang terus berubah di tingkat lokal, nasional, dan global, Universitas Nasional (NU) harus mengadopsi perspektif dan pendekatan baru agar dapat aktif berkontribusi dalam masalah peradaban. Kemampuan organisasi untuk mengatasi masalah ini akan menentukan kekuatan organisasi dalam mengembangkan wacana peradaban.