Obat dan Alat Medis RI Lebih Mahal 5x Lipat dari Negara Lain, Jokowi Panggil Menteri!
Presiden Joko Widodo menggelar rapat di Istana Negara, Jakarta, pada Selasa (2/7/2024) untuk membahas isu terkait harga ketersediaan obat dan alat medis yang mahal di Indonesia. Dalam rapat tersebut, ditekankan pentingnya menurunkan harga alat kesehatan dan obat-obatan agar lebih terjangkau.
Menteri Kesehatan Budi Gunadi Sadikin mengungkapkan bahwa harga obat-obatan di Indonesia saat ini bisa tiga hingga lima kali lipat lebih mahal dibandingkan dengan harga di luar negeri. Presiden berharap harga alat kesehatan dan obat-obatan dapat disetarakan dengan negara tetangga.
“Pertama, kita harus memastikan bahwa harga alat kesehatan dan obat-obatan bisa sebanding dengan negara tetangga. Saat ini, harga alat kesehatan dan obat-obatan di negara kita masih mahal,” ujar Budi Gunadi usai rapat.
Selain itu, Presiden juga berpesan agar industri obat-obatan dan alat kesehatan dalam negeri mulai dikembangkan agar mampu bertahan jika menghadapi pandemi di masa depan. Budi menjelaskan bahwa tingginya harga obat dan alat kesehatan disebabkan oleh inefisiensi dalam jalur perdagangan.
“Untuk itu, tata kelola perdagangan alat kesehatan dan obat-obatan harus lebih transparan dan terbuka, agar tidak ada lonjakan harga yang tidak perlu dalam situasi tertentu,” tambahnya.
Dalam rapat tersebut, isu perpajakan juga menjadi topik pembahasan. Budi menyoroti pentingnya pengelolaan perpajakan agar tidak mengganggu pendapatan dan arus kas pemerintah. “Perpajakan itu penting karena ada isu jeda waktu dan bunga di Indonesia masih relatif tinggi. Jika arus kas tertunda 3 hingga 6 bulan, biaya bunga bisa mencapai 5-8%, sementara beban bunga kita adalah 8-10%,” jelas Budi.
Untuk menurunkan harga alat kesehatan dan obat-obatan, diperlukan koordinasi teknis antara berbagai kementerian, seperti Menteri Keuangan dan Menteri Perdagangan, untuk merancang ekosistem industri yang efektif. Budi memberikan contoh ketidaksesuaian aturan, seperti bea masuk impor 0% untuk pembelian mesin USG, tetapi komponen seperti layar dan elektronik USG dikenakan bea masuk sekitar 15%.
“Ini adalah inkonsistensi. Di satu sisi, kita ingin mendorong industri lokal, tapi insentif sistem pendukungnya tidak selaras,” kata Budi.
Ia juga mencatat bahwa pembelian alat kesehatan, seperti Cath Lab untuk 514 unit di Kabupaten/Kota, seharusnya tidak mengandalkan impor, melainkan membangun pabrik Cath Lab di dalam negeri. “Kita ingin agar jika ada kebutuhan pemerintah untuk 514 unit Cath Lab, kita bisa memproduksinya di dalam negeri. Nanti, tentu saja, rumah sakit swasta juga akan mengikuti,” tutup Budi.