Beberapa organisasi masyarakat sipil dan lembaga bantuan hukum mengklaim bahwa Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) memiliki wewenang untuk menyelidiki kasus korupsi di Basarnas, bahkan jika melibatkan dua anggota TNI aktif.
Pernyataan ini disampaikan pada hari Minggu, 30 Juli, dalam sebuah pernyataan kepada media di Jakarta. Menurut perwakilan dari masing-masing organisasi, masalah yurisdiksi dalam kasus ini sebenarnya tidak perlu diperdebatkan. Kewenangan KPK untuk memeriksa kasus korupsi di Basarnas sesuai dengan asas-asas hukum, konstitusi UUD 1945, dan peraturan perundang-undangan yang berlaku.
Usman Hamid, Direktur Eksekutif Amnesty International Indonesia, menjelaskan dalam kesempatan tersebut tiga asas hukum yang menjamin KPK dapat menyelidiki kasus korupsi di Basarnas meskipun terlibat TNI.
Pertama, hukum yang lebih tinggi meninggalkan hukum yang lebih rendah; kedua, hukum yang baru meninggalkan hukum yang lama; dan ketiga, hukum yang lebih umum meninggalkan hukum yang khusus.
Menurut Ustam Hamid, UUD 1945 berfungsi sebagai konstitusi negara dan mendahului semua undang-undang di bawahnya, termasuk undang-undang yang mengatur peradilan umum dan militer. Ini menunjukkan bahwa tidak ada warga negara Indonesia, termasuk anggota militer, yang kebal hukum, dan semua orang sama di hadapan hukum.
Selain itu, dia menekankan bahwa undang-undang yang lebih baru akan menggantikan undang-undang yang lebih lama. Sebagai contoh, jika Undang-Undang Peradilan Militer menjadi lebih baru, Undang-Undang Kekuasaan Kehakiman yang lebih lama akan tidak berlaku lagi. Dalam hal ini, Undang-Undang TNI Tahun 2004 akan menggantikan semua undang-undang sebelumnya.
Ustam menekankan bahwa kasus korupsi termasuk dalam kategori tindak pidana khusus, bukan kategori tindak pidana umum. Oleh karena itu, perdebatan tentang peradilan militer atau peradilan umum tidak lagi relevan karena peradilan militer hanya menangani tindak pidana militer, bukan kasus korupsi.
Selain itu, dia menekankan pasal-pasal dalam Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP) yang mengatur hubungan antara penanganan kasus pidana yang melibatkan warga sipil dan anggota militer; namun, karena kasus korupsi tidak terkait dengan tugas atau kepentingan militer, kasus tersebut harus diperiksa oleh peradilan umum.
Usman kemudian menyimpulkan bahwa peradilan umum, bukan peradilan militer, seharusnya menangani kasus korupsi di Badan SAR Nasional (Basarnas), yang merupakan lembaga di bawah TNI untuk tugas tertentu.
Beberapa organisasi sipil lainnya, seperti YLBHI, KontraS, Lingkar Madani, Inisiatif Centra, ICW, PBHI, Institut Setara, ELSAM, Forum De Facto, KPI, HRWG, dan Imparsial, juga mendukung pernyataan sikap ini.