“Muara Kuin : Pasar Terapung yang Meredup karena Migrasi Pedagang”
Air tenang mengelilingi Muara Kuin, dengan sinar lampu rumah panggung di tepi Sungai Barito memantul di permukaan air pagi Sabtu (9/9).
Meski belum pukul lima pagi, aktivitas sudah terlihat di dermaga. Kapal Tinah bersiap menuju Pasar Terapung Kuin setelah mesin dinyalakan dan jangkar dilepaskan.
Pasar Terapung Kuin yang pernah ramai, kini sunyi. Pedagang beralih ke daratan, meninggalkan pasar yang pernah menjadi pusat aktivitas. Tinah, seorang perajin tanggui berusia 60 tahun, masih mengunjungi pasar itu, tetapi jumlah pembeli semakin berkurang.
Suara pedagang makanan menyambut kami saat kapal mendekati pasar, tetapi jumlah pedagang bersampan sangat sedikit. Produk yang dijual terbatas, hanya daun singkong, semangka, atau pisang, serta beberapa kudapan. Ahmad Sya’rani, seniman madihin, mengonfirmasi migrasi pedagang dari pasar tersebut sejak pembangunan Jembatan Barito pada 1998.
Sejak itu, proyek pengerasan lahan dan minimarket di sekitarnya semakin marak. Pedagang seperti Ardi, generasi kelima pedagang Pasar Terapung Kuin, lebih memilih berdagang di daratan.
Meskipun pasar fisiknya meredup, praktik baik seperti tawar-menawar pantun dan transaksi barter yang syariah tetap harus dilestarikan. Pasar Terapung Kuin mencerminkan sejarah Kerajaan Banjar yang kaya sejak abad ke-16 dan harus dijaga sebagai warisan budaya.”