Pelaku Perundungan Cenderung Memilih Korban yang Dilihat Lebih Lemah untuk Diintimidasi
Psikolog Samanta Elsener Melihat Alasan di balik Perundungan
Seorang psikolog anak dan keluarga, Samanta Elsener, mengatakan bahwa pelaku perundungan, juga dikenal sebagai bullying, lebih cenderung memilih korban yang dianggap lebih lemah sebagai objek intimidasi mereka.
Menurut Samanta, saat dihubungi ANTARA di Jakarta, Jumat, pelaku biasanya melakukan profil terhadap korban dengan mencari kelemahan korban yang membuat korban terlihat lebih lemah daripada pelaku. Pelaku cenderung memilih korban yang dapat digunakan sebagai tempat untuk melepaskan emosi negatif mereka, terutama saat mereka merasa tidak mampu menyelesaikan konflik.
Menurutnya, perilaku intimidasi dilakukan oleh pelaku dengan tujuan untuk meningkatkan keyakinan diri mereka dan menjadi lebih kuat daripada korban. Karena pelaku berharap bahwa dengan merundung orang yang lebih lemah, mereka bisa merasa lega dari perasaan negatif yang mereka alami, intimidasi seringkali diwarnai oleh perilaku mendominasi, agresif, dan impulsif.
Intimidasi juga dapat disebabkan oleh keinginan pelaku untuk menyembunyikan kegagalan mereka atau penilaian negatif terhadap diri mereka sendiri. Pelaku sering kali tidak menyadari bahwa apa yang mereka lakukan merupakan tindakan yang salah, dan mereka juga sering kali tidak memiliki empati terhadap korban.
Menurutnya, pelaku terus melakukan intimidasi terhadap korban meskipun seringkali diingatkan untuk tidak mengganggu atau menyakiti teman-teman mereka.
Menurut Samanta, perilaku intimidasi ini dapat disebabkan oleh kurangnya perhatian dan kasih sayang di rumah, yang mendorong pelaku untuk mencari kekuasaan dan pengakuan di sekolah. Selain itu, pelaku juga mungkin pernah menjadi korban kekerasan oleh orang tua mereka, baik di rumah maupun di sekolah.
Anggota Himpunan Psikologi Indonesia (HIMPSI) Samanta menyarankan agar pemerintah memasukkan program penyuluhan tentang perundungan ke dalam kurikulum sekolah untuk mengurangi jumlah kasus perundungan yang meningkat di institusi pendidikan.
Untuk mengajar anak-anak tentang perbedaan antara perundungan, konflik, dan permainan, kurikulum harus memasukkan pendidikan anti-perundungan. Pemerintah juga harus melakukan evaluasi psikologis rutin untuk memastikan bahwa anak-anak yang mengalami masalah psikologis dapat segera menerima konseling dari guru BK di sekolah mereka.
Pemerintah harus membantu orang tua memperbaiki kondisi anak-anak dengan mendorong mereka untuk mencari bantuan profesional di luar sekolah jika peran guru BK di sekolah masih belum memenuhi standar.
Selain itu, Samanta menyarankan agar sekolah mengadakan program rutin yang dapat membantu anak-anak lebih memahami interaksi sosial, membantu mereka mengatasi konflik, dan meningkatkan literasi sosial.