Pemerintahan Prabowo Harus Bersiap Menghadapi 4 Krisis Ini!
Pemerintahan Presiden Terpilih Prabowo Subianto diprediksi akan menghadapi empat masalah ekonomi berat. Ekonom Universitas Paramadina Wijayanto Samirin mengungkapkan bahwa potensi krisis yang bakal dihadapi mencakup krisis fiskal, krisis industri, krisis lapangan kerja, dan krisis rupiah.
1. Krisis Fiskal Wijayanto mengatakan bahwa krisis fiskal yang berpotensi terjadi muncul karena beban utang yang tinggi, warisan dari pemerintahan sebelumnya. “Debt to Service 2025 mencapai 43,4%, hampir 50% penerimaan negara digunakan untuk membayar bunga dan cicilan pokok utang,” ujarnya dalam Diskusi Publik di Universitas Paramadina, Jakarta, pada Senin, 15 Juli 2024.
Debt to service ratio adalah perbandingan antara utang dengan total pendapatan pemerintah. Utang pemerintah pada Mei 2024 mencapai Rp 8.353,02 triliun, naik 0,17% dari bulan sebelumnya sebesar Rp 8.338,43 triliun. Posisi utang per 31 Mei 2024 membuat rasio utang terhadap Produk Domestik Bruto (PDB) mencapai 38,71%, naik dari 38,64% pada April 2024.
Prabowo akan menghadapi utang jatuh tempo pada 2025 hingga 2029 mencapai Rp 3.748,24 triliun. Ini terdiri dari Rp 800,33 triliun pada 2025, Rp 803,19 triliun pada 2026, Rp 802,61 triliun pada 2027, Rp 719,81 triliun pada 2028, dan Rp 622,3 triliun pada 2029.
2. Krisis Industri Krisis kedua yang dihadapi adalah di sektor industri. Wijayanto memprediksi deindustrialisasi dini di sektor manufaktur selama masa pemerintahan Prabowo. Saat ini, peran industri manufaktur terhadap PDB turun menjadi 18% dari 22% pada tahun 2010.
Peran industri terhadap perekonomian saat ini sangat minim, dengan banyak pelaku usaha yang berubah menjadi sekadar pedagang produk-produk asal China. “Banyak pengusaha yang bilang tidak mendapatkan proteksi dari pemerintah. Mereka kalah dengan produk asing dan lebih memilih menjadi agen produk China daripada mempertahankan pabrik mereka,” jelas Wijayanto.
3. Krisis Lapangan Kerja Krisis ketiga adalah di lapangan kerja. Wijayanto menyatakan ada 10 juta generasi Z yang menganggur. Pemerintah dianggap gagal memanfaatkan bonus demografi. Porsi pekerja informal semakin meningkat mencapai 60%-70%, berbeda dengan beberapa tahun sebelumnya yang hanya 40%.
“Pekerja informal ini sebenarnya orang-orang menganggur yang mencoba beraktivitas untuk mendapatkan penghidupan. Pengusaha yang saya temui juga tidak ada yang berencana untuk ekspansi, mereka lebih memilih stagnasi atau bahkan mengurangi karyawan,” ujarnya.
4. Krisis Rupiah Krisis keempat adalah pada mata uang rupiah. Wijayanto meyakini pelemahan rupiah saat ini bukan disebabkan oleh tekanan eksternal atau kondisi perekonomian global. Per Juli 2024, rupiah melemah terhadap 81,28% mata uang dunia, menunjukkan bahwa masalah sebenarnya berasal dari kondisi perekonomian Indonesia.
“Jika karena krisis global, kita mungkin hanya lemah terhadap 50% mata uang dunia, tetapi ini kita melemah terhadap 80%, artinya problemnya ada di kita,” katanya.
Pelemahan rupiah ini juga disebabkan oleh harga komoditas yang tinggi, kebijakan Bank Indonesia yang mengeluarkan SRBI untuk menarik devisa, dan penerbitan SBN dengan bunga tinggi.