Pemulihan Aktivitas Perajin Tenun Badui
Setelah mengalami kesulitan selama pandemi COVID-19, industri kain tenun Badui di pedalaman Kabupaten Lebak, Banten, telah pulih. Ini telah menghasilkan tempat usaha baru dan peningkatan pendapatan masyarakat adat di daerah tersebut.
Jaro Saija, kepala desa Kanekes dan tetua adat Badui, mengatakan ada 68 perkampungan dengan perajin kain tenun tradisional masyarakat Badui. Kaum perempuan melakukan proses pembuatan kain tenun ini di bale-bale rumah mereka saat menunggu suami mereka pulang dari ladang. Saat ini ada seribu perajin.
Selain dari hasil panen komoditas pertanian ladang, madu, gula aren, dan souvenir, kain tenun adalah salah satu mata pencaharian utama masyarakat Badui.
Menurut Jaro Saija, pertumbuhan bisnis tenun telah meningkatkan pendapatan masyarakat adat Badui. Bahkan pada akhir pekan, banyak pengunjung datang ke pemukiman Badui untuk membeli berbagai kerajinan masyarakat adat, seperti kain tenun, selendang, blandong, lomar ikat kepala, tas koja, minuman madu, gula aren, golok, dan pernak-pernik souvenir.
Seorang perajin warga Badui bernama Ambu Sarnati mengatakan dia saat ini mampu membuat sepuluh potong kain tenun setiap bulan, yang berukuran 2 x 3 meter persegi dan dijual dengan harga rata-rata antara 150 ribu hingga 1,5 juta per potong.
Seorang pengusaha Badui bernama Sarmedi mengatakan bahwa ia menampung pembuatan berbagai kerajinan masyarakat adat untuk dijual di luar daerah. Ia juga memiliki kios di Kampung Ciboleger, di mana Kadu Ketug berfungsi sebagai pintu masuk pertama ke pemukiman Badui.
Kerajinan masyarakat Badui termasuk kain tenun yang dihargai antara Rp200 ribu hingga Rp400 ribu per potong; kain ikat kepala atau lomar dihargai 20 ribu rupiah; pakaian pangsit dihargai 300 ribu rupiah; batik dihargai 150 ribu rupiah; tas koja dihargai 100 ribu rupiah; golok dihargai 150 ribu rupiah; dan souvenir rata-rata dihargai 25 ribu rupiah.
Minuman madu seharga 100 ribu rupiah per botol dan gula aren seharga 40 ribu rupiah per kilogram.