Pengembangan Usaha Sapi Potong yang Memberikan Keuntungan bagi Masyarakat dan Peternak
Bisnis sapi potong di Indonesia membutuhkan pedoman yang seimbang untuk mencapai kesejahteraan peternak dan kemakmuran rakyat. Dalam menghadapi impor daging beku ke Indonesia, peternakan rakyat harus terus berkembang dan bersaing. Swasembada daging harus menjadi cita-cita yang harus dicapai melalui pembentukan peta jalan pengembangan bisnis sapi potong yang lebih terarah.
Permintaan daging terus meningkat sebagai akibat dari peningkatan jumlah penduduk dan kesadaran gizi yang lebih tinggi. Oleh karena itu, subsektor peternakan perlu berpikir secara strategis untuk menyediakan daging sapi, yang dianggap memiliki banyak protein dan asam amino, untuk memenuhi kebutuhan protein tubuh.
Pemerintah Indonesia telah melakukan berbagai program untuk meningkatkan populasi sapi. Dengan mengoptimalkan sumber daya manusia (peternak), ternak, sumber daya alam (lahan dan pakan), dan teknologi, pengembangan usaha ternak sapi potong dengan target swasembada dapat dicapai.
Saat ini, sebagian besar peternakan sapi potong berasal dari peternakan rakyat, terutama di Pulau Jawa (42,92 persen), dan sisanya tersebar di luar pulau. Namun, populasi sapi potong pada tahun 2022 mencapai 18 juta ekor, hanya sekitar 12 persen yang dapat dipotong setiap tahun.
Untuk memenuhi kebutuhan daging sapi rakyat Indonesia, pemotongan sapi lokal, sapi qurban, sapi betina, bakalan impor, dan daging beku impor diimpor. Namun, impor daging beku, terutama dari India, yang dijual dengan harga murah, tidak berhasil menurunkan harga daging sapi lokal; sebaliknya, harganya malah meningkat.
Peternak sapi lokal menghadapi masalah seperti biaya tinggi untuk produksi, mulai dari pembibitan hingga penjualan di lapak daging. Menurut Sensus Pertanian 2023, jumlah rumah tangga di subsektor peternakan telah menurun, yang menunjukkan masalah ini.
Untuk mengatasi masalah ini, pemerintah harus segera menyediakan infrastruktur pelayanan peternakan yang menyenangkan bagi peternak, seperti regulasi yang jelas, padang penggembalaan, Rumah Potong Hewan, dan lapak-lapak daging. Jika tidak, dengan sumber daya alam yang melimpah, Indonesia dapat terjebak menjadi net importer daging.
Pemerintah harus meningkatkan pasokan daging lokal dan menurunkan biaya produksi sapi dalam negeri. Memanfaatkan pulau-pulau kecil, zonasi wilayah pembiakan di luar Pulau Jawa, dan optimalisasi sumber daya alam dapat membantu mengurangi biaya produksi. Mengembangkan Rumah Potong Hewan dengan regulasi yang baik juga dapat membantu mengurangi biaya transportasi sapi hidup untuk diproses menjadi daging.
Fokus utama harus diberikan pada peningkatan produksi dalam negeri, dengan impor hanya dilakukan jika kebutuhan dalam negeri tidak mencukupi. Ini dapat dicapai dengan mengimpor indukan produktif dan mengatur pangsa pasar daging impor untuk memenuhi kebutuhan industri dan sektor horeka.
Pengembangan lahan penggembalaan di luar Pulau Jawa, infrastruktur penggemukan di Pulau Jawa, dan pelatihan peternak rakyat dapat membantu mencapai swasembada daging pada tahun 2032. Dengan perbaikan ini, harga daging sapi lokal diharapkan menjadi lebih murah, dan kesejahteraan peternak rakyat diharapkan meningkat.