Perhatian! Ekonomi Indonesia Menghadapi Tantangan Besar
Tanda-tanda masalah ekonomi Indonesia semakin jelas terlihat. Setelah nilai tukar rupiah terhadap dolar Amerika Serikat (AS) jatuh ke level di atas Rp 16.400 dan banyaknya Pemutusan Hubungan Kerja (PHK), kini muncul indikasi pelemahan daya beli masyarakat. Hal ini tercermin dari deflasi yang terjadi selama dua bulan berturut-turut. Data Badan Pusat Statistik (BPS) menunjukkan bahwa deflasi pada Juni 2024 mencapai 0,08%, lebih dalam dibandingkan deflasi 0,03% pada Mei 2024.
Menurut Ekonom dari Universitas Indonesia, Ninasapti Triaswati, deflasi ini menandakan penurunan daya beli masyarakat, yang menyebabkan permintaan barang menurun dan mengurangi tekanan harga. Ninasapti menjelaskan bahwa penurunan daya beli disebabkan oleh dua faktor utama. Pertama, suku bunga kebijakan moneter Bank Indonesia yang masih tinggi, menyebabkan biaya pinjaman dan produksi meningkat, yang pada akhirnya berdampak pada PHK. Kedua, kurangnya stimulus untuk penciptaan lapangan kerja.
Indikator lain yang menunjukkan penurunan daya beli adalah penurunan drastis dalam setoran Pajak Penghasilan (PPh) badan pada Mei 2024, yang terkontraksi sebesar 35,7% secara neto, berbalik dari pertumbuhan 24,8% pada periode yang sama tahun lalu. Pakar pajak, Prianto Budi Saptono, menyebutkan bahwa penurunan setoran pajak ini menunjukkan bahwa laba perusahaan menurun, terutama karena pendapatan yang menurun.
Biaya produksi yang tinggi juga dipengaruhi oleh nilai tukar rupiah yang sempat menyentuh level Rp 16.400/US$, meskipun saat ini kurs rupiah menguat menjadi Rp 16.320/US$. Apresiasi ini terjadi selama tiga hari berturut-turut dan merupakan posisi terkuat sejak 13 Juni 2024. Namun, para ekonom memperingatkan bahwa nilai tukar yang rendah dapat menyebabkan kenaikan harga barang dan berdampak negatif pada daya beli serta daya saing industri.
Tekanan terhadap sektor industri semakin jelas terlihat dari aktivitas manufaktur yang menurun tajam ke level terendah dalam 13 bulan pada Juni 2024. Data Purchasing Managers’ Index (PMI) yang dirilis S&P Global menunjukkan PMI manufaktur Indonesia jatuh ke angka 50,7 pada Juni 2024, terendah sejak Mei 2023. Penurunan ini dipicu oleh laju ekspansi yang lebih lambat dalam output dan pesanan baru, serta penurunan penjualan ekspor.
Sektor tekstil dan produk tekstil (TPT) juga mengalami dampak signifikan, dengan banyaknya PHK dan penutupan pabrik. Menurut data, ada 36 perusahaan tekstil menengah besar yang tutup dan 31 pabrik lainnya melakukan PHK karena efisiensi. Ketua Umum Asosiasi Pertekstilan Indonesia (API), Jemmy Kartiwa Sastraatmaja, menyebutkan bahwa hingga Mei 2024, sekitar 10.800 tenaga kerja di industri TPT terkena PHK.
Masalah PHK di sektor tekstil mendapat perhatian khusus dari Anggota DPD dan Presiden Joko Widodo. Presiden Jokowi telah menyetujui kebijakan proteksi industri tekstil melalui penerapan Bea Masuk Tindakan Pengamanan (BMTP) dan Bea Masuk Anti-Dumping (BMAD) untuk produk impor tekstil. Menteri Perdagangan, Zulkifli Hasan, mengungkapkan bahwa kebijakan ini bertujuan untuk melindungi industri tekstil dari dampak PHK massal dan penutupan pabrik.