Pesantren di Era Digital, Antara Narasi dan Realitas
Insiden perundungan yang terjadi di sebuah pesantren di era digital ini, yang ada di Mojo, Kota Kediri, Jawa Timur, pada awal Februari 2024, merupakan titik perhatian yang menuntut sikap bijak dalam penanganannya. Penting bagi kita untuk melihatnya dengan kacamata yang jernih agar tidak terjerumus pada kondisi yang dapat merusak citra pesantren.
Kasus perundungan di pesantren di Kediri yang belum memiliki izin, yakni nomor statistik pesantren (NSP) dari Kementerian Agama, langsung menarik perhatian publik. Ini menjadi momen di mana kita harus memilih apakah akan menggunakan sudut pandang yang negatif atau positif.
Dalam dunia digital yang semakin cepat, seringkali apa yang muncul di media sosial dianggap sebagai fakta tanpa proses verifikasi yang tepat. Framing yang terjadi bisa mempengaruhi persepsi masyarakat, seperti dalam kasus di Mojo, Kediri. Isu ini kemudian terus dicari di pesantren lain, sehingga dalam waktu singkat pesantren bisa dianggap sebagai tempat perundungan.
Framing di dunia maya sering kali menciptakan kesan yang berbeda dari kenyataan. Hal-hal yang pada dasarnya biasa, seperti humor di pesantren, bisa diinterpretasikan secara berlebihan sebagai perundungan.
Data menunjukkan bahwa insiden perundungan di lembaga pendidikan agama sangat jarang terjadi. Namun, dalam era digital, perang narasi menjadi hal yang penting. Asosiasi Pesantren Nahdlatul Ulama (NU) mengajak pesantren untuk memiliki kemampuan membangun pesan publik dan memenangkan pertarungan narasi di dunia maya.
Kemitraan antara pesantren dan media menjadi langkah strategis dalam menyesuaikan diri dengan kebutuhan masyarakat kota yang lebih terbuka terhadap kritik dan komentar, terutama melalui media sosial. Media harus memahami konteks pesantren secara lebih mendalam agar tidak menimbulkan kesalahpahaman.
Penting bagi pesantren untuk tidak tergesa-gesa menggunakan Undang-Undang Informasi dan Transaksi Elektronik (UU ITE) untuk melaporkan media. Memberikan penjelasan yang jelas dan menerima permohonan maaf dengan sabar dapat menarik simpati dari masyarakat.
Sorotan terhadap pesantren dalam kasus tertentu harus dijawab dengan jernih. Kemitraan dengan media juga dapat menjadi sarana dakwah digital yang efektif. Harapannya, kolaborasi seperti ini dapat terjadi di semua lembaga pendidikan.
Era digital membawa tantangan baru dalam komunikasi, namun juga membuka peluang baru. Pesantren perlu aktif berpartisipasi dalam membangun narasi yang positif tentang substansi dan kelebihan pendidikan pesantren sebagai lembaga keagamaan.
Kasus perundungan di pesantren tidak hanya mengajarkan tentang pentingnya kemitraan antara pesantren dan media, tetapi juga pentingnya kehati-hatian dalam mengonsumsi informasi dari internet. Dengan sikap bijak, kita dapat menghindari framing yang tidak akurat dan menjaga integritas pesantren sebagai lembaga pendidikan yang bermartabat.