RUKKI Meminta Pemerintah Indonesia untuk Lebih Proaktif dalam Mengatur Industri Tembakau.
Pemerintah Indonesia diminta oleh Ruang Kebijakan Kesehatan Indonesia (RUKKI) untuk lebih aktif mengawasi industri tembakau negara ini. RUKKI berpendapat bahwa pemerintah harus mengambil peran dalam mengawasi industri tembakau, terutama setelah laporan Indeks Gangguan Industri Tembakau (TII Index) tahun 2023 menunjukkan bahwa Indonesia menerima skor 84.
Mouhamad Bigwanto, Ketua RUKKI, menyatakan bahwa kurangnya keterlibatan pemerintah dalam mengawasi industri tembakau berdampak negatif pada upaya perlindungan kesehatan masyarakat melalui pengendalian produk tembakau.
Hasil pemantauan RUKKI menunjukkan bahwa masalah industri tembakau Indonesia selama lima tahun terakhir selalu menduduki peringkat tertinggi di antara sembilan negara Asia Tenggara.
Bigwanto menyatakan bahwa Indonesia pertama kali memperoleh indeks 84 pada tahun 2015, dan kemudian mencapai skor 81 (2016), 79 (2017), 75 (2018), 82 (2019), dan 83 (2020).
Tidak ada kebijakan yang kuat untuk melindungi anak-anak dari efek merokok, kata Agus Pambagio, Pengamat Kebijakan Publik. Ia menekankan bahwa tanpa tindakan nyata untuk mencegah generasi muda dari bahaya rokok, Indonesia akan menghadapi tantangan besar dalam mengembangkan sumber daya manusia yang unggul dan kompetitif.
Sebelum ini, Atong Soekirman, Asisten Deputi Pengembangan Industri Kementerian Koordinator Bidang Perekonomian, menyatakan bahwa pemerintah akan mempertimbangkan kepentingan berbagai pihak saat membuat kebijakan terkait tembakau. Meskipun masalah kesehatan terkait konsumsi rokok oleh anak-anak usia 10 hingga 18 tahun sangat penting, Atong menggarisbawahi bahwa kebijakan seperti kenaikan cukai rokok harus mempertimbangkan dampak industri tembakau secara keseluruhan.
Salah satu contoh yang dia berikan adalah bahwa produk tembakau juga termasuk dalam program yang sangat diatur oleh Kementerian Perindustrian. Dari perspektif ini, industri rokok mengalami penurunan yang signifikan dari sekitar 4.000 unit pada tahun 2006-2007 menjadi 500 hingga 700 unit saat ini.
Atong menyatakan, “Atas dasar perspektif ini, kami ingin menyampaikan bahwa Kementerian Keuangan tengah mencari keseimbangan dalam kebijakan ini, karena kebijakan ini harus mempertimbangkan berbagai pihak.”