Panglima TNI, Laksamana TNI Yudo Margono, Turunkan Tim Polisi Militer untuk Menangani Sengketa Kepemilikan Tanah di Pulau Rempang
Panglima TNI, Laksamana TNI Yudo Margono, telah mengambil tindakan untuk mencegah keterlibatan prajurit TNI dalam sengketa kepemilikan tanah di Pulau Rempang, Batam, Kepulauan Riau. Tim Polisi Militer (POM) TNI telah dikerahkan ke lokasi ini untuk menghindari potensi konflik yang melibatkan prajurit TNI yang mungkin memiliki lahan yang tidak sah di sana.
Panglima Yudo menyatakan, “Polisi Militer (POM) TNI kami turunkan, jangan sampai ada prajurit TNI yang terlibat, mungkin apa namanya provokator, atau mungkin punya lahan-lahan yang tidak sah di sana. Kami beri imbauan.”
Danpuspom TNI, Marsekal Muda TNI Agung Handoko, telah mengirimkan tim gabungan Satuan Tugas POM TNI ke Pulau Rempang.
Panglima TNI menegaskan bahwa prajurit TNI yang ada di Pulau Rempang hanya ada untuk membantu tugas polisi. Situasi ini muncul setelah sejumlah kelompok masyarakat di Pulau Rempang bentrok dengan polisi karena menolak pengukuran lahan untuk pembangunan Rempang Eco-City oleh Badan Pengusahaan (BP) Batam.
Pulau Rempang, dengan luas sekitar 17.000 hektar, sedang dalam rencana untuk menjadi kawasan ekonomi terintegrasi yang mencakup sektor industri, jasa, komersial, residensial, agro-pariwisata, dan pengembangan energi baru dan terbarukan (EBT).
Di tempat lain, Menteri Koordinator Bidang Politik, Hukum, dan Keamanan (Menko Polhukam) Mahfud MD, meminta penanganan aksi massa di Pulau Rempang dengan penuh kemanusiaan. Dia mengingatkan bahwa tanah di Pulau Rempang telah diberikan haknya oleh negara kepada sebuah perusahaan pada tahun 2001 dan 2002.
Meski demikian, pada tahun 2004, hak atas penggunaan tanah itu beralih ke pihak lain. Ketidaksepakatan muncul ketika investor mulai masuk ke Pulau Rempang pada tahun 2022, dan orang-orang yang memiliki hak tersebut datang ke lokasi dan menemukan tanah mereka sudah ditempati oleh orang lain.
Keputusan yang diambil oleh pemerintah setempat dan pusat, termasuk Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (LHK), menjadi penyebab kerumitan situasi ini. Proses pengosongan tanah menjadi sumber konflik, meskipun hak atas tanah tersebut masih dimiliki oleh perusahaan sesuai dengan SK yang dikeluarkan pada tahun 2001 dan 2002.