Di tengah malam yang dingin dan gelap, sekelompok remaja berusia belasan tahun berkumpul di Kecamatan Sembalun, Lombok Timur. Mereka membawa sarung dan selimut tebal untuk melindungi diri dari suhu yang turun hingga 10 derajat Celsius. Dalam cahaya bulan, langkah-langkah mereka seperti bayangan yang bergerak gemulai.
Di latar belakang, Gunung Rinjani menjulang tinggi dan anginnya berhembus lembut, ikut serta dalam aktivitas malam ini. Para pemuda ini memiliki tujuan mulia: melestarikan kesenian tradisional masyarakat Desa Sembalun Bumbung yang terletak di kaki Gunung Rinjani yang megah.
Tempat pertemuan mereka adalah halaman Sanggar Aldakmas, di mana berbagai alat musik tradisional seperti gendang, gong, terompong, jemprang, dan suling mulai mengalun. Mereka bersiap untuk latihan Tarian Tandang Mendet, dan meskipun udara sangat dingin, ketua divisi tari, Lizan Haris, memanggil mereka untuk memulai latihan.
Sambil berkumpul di sekitar api unggun, mereka bercanda dan berbicara tentang kegiatan hari itu, tetapi mereka tidak melepaskan sarung dan selimut mereka. Ini adalah kebiasaan yang tak terpisahkan dari mereka.
Sebelas remaja yang bertugas sebagai penari sigap berdiri dengan perlengkapan tari mereka. Mereka mulai bergerak bersamaan dengan irama gamelan, menggunakan tombak, pedang, dan tameng untuk menampilkan gerakan yang mengesankan. Teriakan semangat terdengar saat mereka menghayati gerakan-gerakan ini.
Dengan tempo musik yang semakin kencang, gerakan tari semakin lincah. Mereka berputar dalam lingkaran, maju dan mundur, seolah-olah mereka sedang bertempur melawan musuh. Tiba-tiba, lima penari berjongkok sambil menghunuskan senjata tajam, sementara lima penari lainnya berdiri di belakang mereka sebagai pelindung.
Seorang penari menjadi komandan dan memberikan perintah kepada pasukannya, sementara teriakan semangat mereka terus bergema. Pertunjukan tari ini berlangsung selama sekitar 20 menit, di mana mereka melupakan dinginnya malam dan sepenuhnya fokus pada penampilan mereka, ditemani keringat dan napas terengah-engah.
Setelah pertunjukan selesai, mereka akhirnya bisa beristirahat sejenak di depan api unggun sambil menikmati segelas kopi hangat. Ini adalah bagian dari rutinitas harian mereka, yang mereka lakukan setiap hari untuk menjaga dan melestarikan seni budaya lokal.
Deni, Ketua Pokdarwis Sembalun Bumbung, menjelaskan bahwa tujuan utama aktivitas ini adalah untuk memastikan bahwa keterampilan berharga ini dapat diwariskan kepada generasi mendatang. Di tengah pengaruh budaya Barat yang semakin kuat, penting bagi generasi muda untuk mempertahankan identitas budaya lokal mereka.
Selain latihan tari, mereka juga belajar tentang gamelan dan drama. Biasanya, mereka berlatih setelah waktu isya dan menjalani latihan tersebut enam kali seminggu, kecuali hari Jumat. Ini adalah cara untuk memastikan bahwa mereka tetap terhubung dengan akar budaya mereka.
Tarian Tandang Mendet sendiri memiliki daya tarik bagi wisatawan. Namun, pertunjukan ini tidak dapat disaksikan setiap saat, melainkan hanya pada upacara selamatan “Ngayu-ayu”. Upacara ini adalah ekspresi syukur masyarakat Sembalun Bumbung terhadap Tuhan Yang Maha Esa atas kesuburan yang mereka nikmati di kaki Gunung Rinjani.
Meskipun tarian ini hanya ditampilkan pada upacara tertentu, banyak yang berharap agar Tarian Tandang Mendet bisa menjadi pertunjukan reguler yang bisa dinikmati oleh wisatawan yang datang ke Sembalun. Hal ini akan menambah daya tarik bagi para pengunjung dan dapat meningkatkan perekonomian lokal.
Dengan melestarikan seni budaya tradisional seperti Tari Tandang Mendet, harapannya adalah bahwa identitas budaya lokal akan tetap hidup dan berkembang di tengah pengaruh budaya luar yang semakin kuat. Seni dan budaya adalah bagian penting dari warisan Indonesia yang kaya, dan upaya untuk menjaga dan melestarikannya sangat berharga.