Rencana daftar positif yang memberikan prioritas kepada bahan baku akan diterapkan dalam revisi Peraturan Menteri Perdagangan No. 50 Tahun 2020 tentang Penyelenggara Perdagangan Melalui Sistem Elektronik (PPMSE), menurut Wakil Menteri Perdagangan (Wamendag) Jerry Sambuaga.
Wamendag Jerry mengatakan saat menghadiri ASEAN Inclusive Business Summit di Nusa Dua, Badung, Bali, pada hari Rabu, “Dalam impor, prioritas kami adalah bahan baku yang kami proses di dalam negeri dan kemudian diekspor ke luar negeri.”
Dalam rencana daftar positif ini, impor hanya diperbolehkan untuk bahan baku yang tidak dapat diperoleh di dalam negeri, bukan barang konsumsi. Bahan baku yang diimpor harus diolah oleh industri sebelum dijual kembali untuk diekspor, menurut wamendag.
Dia menjelaskan, “Ini sebenarnya suatu langkah yang positif karena kami ingin memastikan bahwa bahan baku yang kami impor akan menghasilkan produk, kami membuat produk, memprosesnya, dan kemudian mengekspornya. Ini akan memberikan kontribusi yang signifikan terhadap neraca perdagangan.”
Selain itu, Wamendag menyatakan bahwa Indonesia telah berhasil mencatat surplus neraca perdagangan selama 38 bulan berturut-turut, yang berarti ekspor lebih besar daripada impor. Ekspor pada bulan Juni 2023 mencapai 20 miliar dolar AS, dan surplus pada tahun 2022 mencapai nilai tertinggi yang pernah dicatat Indonesia, yaitu 54,46 miliar dolar.
Oleh karena itu, kami menegaskan bahwa langkah ini menunjukkan komitmen kami untuk memastikan bahwa kami memiliki kemandirian dalam produk dan jasa yang dapat kami ekspor, dan tentu saja, kami sangat selektif dalam mengimpor barang.
Namun, dalam revisi Permendag No 50 Tahun 2020, Menteri Koperasi dan UKM (Menkop UKM) Teten Masduki menolak usulan untuk membuat daftar positif yang mencakup barang-barang yang diizinkan untuk diimpor dengan harga di bawah 100 dolar AS atau sekitar Rp1,5 juta.
Dia menyatakan, “Menurut saya, konsep daftar positif ini tidak sesuai. Selain itu, ini sesuai dengan arahan presiden karena sebenarnya kami ingin mendorong pengembangan industri dalam negeri. Akibatnya, kebijakan substitusi impor telah diterapkan untuk belanja pemerintah untuk mendorong pembelian lebih banyak produk dalam negeri.”
Menteri Teten mengatakan bahwa pemerintah harus menerapkan kebijakan yang memaksa perusahaan industri luar negeri yang produknya tidak dapat diproduksi di dalam negeri untuk mendirikan pabrik dan melakukan produksi di dalam negeri daripada membuat daftar positif barang impor yang harganya di bawah 100 dolar AS.