BRIN : Kesalehan Capres Menjadi Salah Satu Nilai Tukar Politik di Indonesia
Dr. Karman, seorang peneliti dari Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN), mengatakan bahwa kesalehan atau religiusitas calon presiden dan cawapres sebagai aktor politik dalam ranah keagamaan sangat penting dalam politik Indonesia.
Dalam diskusi budaya yang diadakan secara online di Jakarta pada hari Senin, dia menyatakan bahwa kesalehan Islam digunakan sebagai alat untuk menarik simpati para aktor politik dalam mengekspresikan komunikasi keislaman mereka.
Karman berpendapat bahwa, mengingat fakta bahwa Indonesia adalah negara dengan mayoritas pemeluk agama Islam terbesar di dunia dan juga salah satu negara demokrasi terbesar di dunia, seolah-olah menjadi tugas politik untuk memperhatikan keagamaan.
Dia menambahkan bahwa para aktor politik harus mengembangkan strategi yang mampu mengakomodasi struktur masyarakat Indonesia yang mayoritasnya beragama Islam, serta bagaimana mereka dapat memperoleh dukungan dalam konteks pemilihan umum (pemilu) untuk mendapatkan suara pemilih.
Karman menyimpulkan, “Karena itu, muncul upaya-upaya dalam bentuk komodifikasi (penggunaan nilai-nilai politik) yang menggunakan nilai-nilai Islam dan kesalehan sebagai instrumen politik.”
Lebih lanjut, Karman menyatakan bahwa para aktor politik juga harus menunjukkan kesalehan di depan publik melalui berbagai bentuk ibadah, seperti shalat, berdoa, dan membaca Al-Quran.
Karman menekankan bahwa, dalam hal ini, bacaan-bacaan yang berkaitan dengan keyakinan dalam agama Islam, seperti yang diucapkan oleh beberapa capres dan cawapres, digunakan untuk menonjolkan kesalehan mereka bukan sekadar untuk menunjukkan identitas agama mereka.
“Kesalehan memiliki nilai jual yang tinggi dalam konteks Indonesia. Masyarakat Muslim menyukainya,” katanya.
Namun, Karman menyatakan bahwa kesalehan politik bukan hanya terjadi di Indonesia, tetapi juga di beberapa negara lain di mana mayoritas penduduknya menganut agama lain seperti Katolik dan Protestan.
Karena daya tarik agama, orang yang terlibat dalam kontestasi politik merasa perlu menggunakan simbol-simbol agama. Menurutnya, mereka berusaha menonjolkan aspek kebudayaan yang terkait dengan agama Islam, bahkan bagi mereka yang bukan penganut agama Islam.
Karman menyimpulkan, “Meskipun mereka tidak berharap mendapatkan dukungan politik dari Muslim, strategi ini dapat mengurangi resistensi atau penolakan Muslim terhadap pencalonan mereka.”