Nelayan Masih Menghadapi Kendala dalam Akses BBM Bersubsidi
Persatuan Nelayan Tradisional Indonesia (PNTI) berkomitmen untuk memastikan bahwa nelayan mendapatkan akses yang memadai terhadap bahan bakar minyak (BBM) bersubsidi dan dapat kembali melaut tanpa hambatan. Masih banyak nelayan kecil dan tradisional yang menghadapi kesulitan dalam mengakses BBM dan LPG bersubsidi, yang menjadi tantangan utama bagi kelangsungan usaha mereka.
Ketua Umum PNTI, Muhammad Husein, mengakui adanya masalah yang dihadapi para nelayan di lapangan, terutama terkait dengan akses BBM bersubsidi. “Banyak nelayan yang belum mendapatkan kepastian kapan mereka bisa melaut. Oleh karena itu, diperlukan database yang kuat agar nelayan dapat memastikan akses mereka untuk melaut,” jelas Husein dalam acara Pelantikan Dewan Pengurus Pusat (DPP) PNTI di Jakarta pada Selasa, 30 Juli.
Untuk mengatasi masalah ini, PNTI meluncurkan beberapa program terbaru yang dirancang untuk mempermudah akses nelayan ke BBM dan meningkatkan efisiensi operasional mereka. Salah satu inisiatif utama adalah pengembangan platform atau aplikasi yang memungkinkan pemantauan anggota PNTI secara real-time. Melalui aplikasi ini, PNTI akan dapat berkoordinasi dengan pemerintah dan stakeholder terkait untuk memastikan nelayan yang terdaftar dapat melaut dengan lancar.
Saat ini, terdapat sekitar 80 ribu nelayan yang tergabung dalam PNTI. Untuk membantu mereka, Husein menjelaskan empat langkah utama yang akan diambil oleh organisasi. Pertama, PNTI akan melakukan transformasi sumber daya manusia (SDM) agar lebih adaptif dan inovatif. Kedua, strategi pemodalan nelayan akan dilakukan dengan pendekatan crowd funding investment. Ketiga, PNTI akan menerapkan strategi perluasan pasar berbasis market untuk nelayan. Keempat, fokus akan diberikan pada hilirisasi produk nelayan.
Sekretaris Jenderal PNTI, Nauval Witartono, juga menekankan komitmen organisasi untuk mendorong Indonesia sebagai poros maritim dunia. Nauval menyayangkan bahwa setelah Nawacita pertama menuju Nawacita kedua Presiden Jokowi, isu poros maritim dunia semakin kurang diperhatikan. “Isu ini seolah tertutup oleh berbagai konsentrasi pembangunan lainnya, seperti IKN. Padahal, wilayah kemaritiman Indonesia memiliki potensi besar sebagai sentral dalam perdagangan global, khususnya dalam distribusi, tol laut, dan jalur sutra perdagangan di wilayah kelautan dan perbatasan,” terangnya.
Nauval menambahkan, “Kami ingin mengingatkan bahwa konsep poros maritim dunia tidak boleh hanya menjadi wacana populis. Ini harus diinterpretasikan dengan baik dan diterapkan secara nyata.” Ia juga berharap di bawah kepemimpinan presiden baru, Prabowo Subianto, pemerintah dan PNTI dapat saling mendukung untuk mewujudkan visi Indonesia sebagai poros maritim dunia.
“Kami berharap dapat segera berdialog dengan pihak-pihak terkait yang memiliki kewenangan untuk mendengarkan ide dan gagasan ini dalam merumuskan kebijakan strategis ke depan,” tutup Nauval.