Jakarta – Direktur PT Diratama Jaya Mandiri Irfan Kurnia Saleh mengaku menyesali niat awalnya untuk membantu TNI AU demi memperoleh Alat Utama Sistem Senjata (alutsista) namun malah berujung menjadi masalah besar.
“Saya menyesal jika niat baik saya membantu TNI AU memperoleh alutsista terbaik dunia yang didambakan oleh segenap personil penerbang TNI AU akhirnya berujung menjadi masalah besar yang berlarut-larut yang terjadi akibat hal-hal di luar kemampuan dan kewenangan saya,” kata Irfan Kurnia saat membacakan nota pembelaan (pleidoi) di Pengadilan Tindak Pidana Korupsi (Tipikor) Jakarta pada Senin.
Dalam perkara ini, Jaksa Penuntut Umum (JPU) KPK menuntut Irfan Kurnia Saleh dengan pidana penjara 15 tahun penjara ditambah Rp1 miliar subsider 6 bulan kurungan serta kewajiban untuk membayar uang pengganti sebesar Rp177.712.972.054,6 miliar subsider 5 tahun karena dinilai melakukan korupsi Pengadaan Helikopter Angkut AW-101 di TNI Angkatan Udara Tahun 2016 dengan nilai kerugian keuangan negara sebesar Rp738,9 miliar.
“Sejak awal saya tidak pernah berpikir atau berniat melakukan tindak pidana korupsi yang merugikan keuangan negara dalam pengadaan Helikopter AW 101 ini. Saya hanyalah pihak swasta, pedagang, yang berusaha sebaik-baiknya menjalankan kewajiban sesuai dengan apa yang diatur dalam kontrak,” ungkap Irfan.
Irfan menyebut, bila ada kekurangan dalam pengadaan heli AW 1010, bukanlah lah yang ia sengaja.
“Oleh karenanya dengan segala kerendahan hati izinkan saya memohon kepada majelis hakim yang mulia agar saya dibebaskan dari segala tuntutan dan memohon majelis hakim agar harkat dan martabat saya dapat dipulihkan. Namun jika majelis hakim berpikiran lain dan menyatakan saya bersalah maka saya ikhlas menerimanya seperti ikhlasnya saya menjalani beban batin, moril, materiil dan psikologis selama hampir 6 tahun terhukum sejak menjadi tersangka,” tambah Irfan.
Menurut Irfan, sejak Panglima TNI saat itu Jenderal Gatot Nurmantyo mengumumkan para tersangka dari TNI AU pada 26 Mei 2017, ia sudah merasakan “mati” sebagai pribadi, makhluk sosial dan wiraswasta yang merintis PT DIratama Jaya Mandiri selama 12 tahun.
“Dari pengumuman tersangka itu, semua dunia perbankan yang telah menjalin hubungan baik dengan saya dan perusahaan saya menutup pintu fasilitas keuangan tanpa klarifikasi. Saya sadari ternyata azas praduga tak bersalah hanyalah ilusi dan angan-angan bagi manusia yang telah mendapat status tersangka, bahkan untuk saya yang saat pengumuman itu belum dinyatakan sebagai tersangka dan hanya baru dari pihak TNI AU saja,” kata Irfan.
Irfan mengaku dampak dari status tersangka itu sangat berat karena ia terkucil dari lingkungan dunia usaha, pergaulan sosial, bahkan persahabatannya sejak kecil kandas.
“Untuk memulai usaha baru tidaklah mudah karena tidak ada kerabat yang mengulurkan bantuan modal, tidak ada bank yang membuka pintu. Aset yang saya miliki juga tidak dapat dijual karena permintaan blokir oleh KPK kepada Badan Pertahanan Nasional (BPN).
Irfan pun menegaskan ia tidak pernah meminta kepada pejabat TNI AU untuk membeli helikopter AW 101.
“Tidak pernah terucap dari bibir saya ke pejabat TNI manapun untuk memohon dan mengiba agar pengadaan heli AW 101 tetap diadakan karena saya sudah melakukan ‘booking fee’. Tidak ada pihak TNI AU yang tahu mengenai pembicaraan saya dengan pihak Leonardo Helicopter bahkan Asrena Kasau TNI tidak tahu karena beliau saat itu memasuki masa pensiun, dan ada desakan untuk adanya heli AW 101 antara lain untuk ditampilkan dalam HUT TNI AU pada 2017,” tambah Irfan.
Dalam surat tuntutan disebutkan Irfan Kurnia lalu melakukan pendekatan ke Asisten Perencanaan dan Anggaran (ASRENA) KASAU TNI AU Mohammad Syafei pada Mei 2015 dan membicarakan agar helikopter AW 101 dapat diterbangkan pada acara HUT TNI AU pada 4 April 2016.
Maka pada 14 Oktober 2015, Irfan langsung memesan 1 unit Helikopter VVIP AW-101 kepada Perusahaan AgustaWestland, dan pada 15 Oktober 2015 ia membayar uang tanda jadi sebesar 1 juta dolar AS atau Rp13.318.535.000 atas nama PT Diratama Jaya Mandiri kepada AgustaWestland, padahal belum ada pengadaan Helikopter VVIP di lingkungan TNI AU.
Helikopter itu sesungguhnya adalah helikopter AW-101 Nomor Seri Produksi (MSN) 50248 yang selesai diproduksi pada 2012 dengan konfigurasi VVIP yang merupakan pesanan Angkatan Udara India.
Namun karena Irfan telah memesan heli AW 101 dan sudah membayar tanda jadi maka Kepala Staf Angkatan Udara (Kasau) Agus Supriatna, melalui Asrena KASAU TNI AU Supriyanto Basuki membuat usulan perubahan pengadaan yang semula pengadaan helikopter VVIP RI-1 menjadi helikopter Angkut Berat, meski spesifikasi hanya ditambahkan “Cargo Door on the starboard side” dengan harga usulan Rp742.475.410.040.
Pada 18 Juli 2016 KADISADAU Fachri Adamy kemudian menetapkan PT Diratama Jaya Mandiri sebagai pemenang pengadaan Helikopter Angkut AW 101 senilai Rp738,9 miliar.
Dari pembayaran tahap 1 yaitu senilai Rp436.689.900.000 pada 5 September 2016, sebesar 4 persen yaitu Rp17,733 miliar dipergunakan sebagai Dana Komando (DAKO/DK) untuk Agus Supriatna sehingga pembayaran untuk PT Diratama Jaya Mandiri hanya sebesar Rp418.956.300.000.
Sigit Suwastono lalu mengambil Dana Komando Rp17,733 miliar dan diserahkan kepada kepala pemegang kas Mabes TNI AU Wisnu Wicaksono lalu melaporkannya kepada Agus Supriatna. Agus Supriatna juga memerintahkan Wisnu Wicaksono membuat 8 rekening deposito dalam rentang waktu 9 November 2016 – 23 Maret 2017 senilai total Rp15.017.250.000 yang seluruhnya atas nama Dewi Liasaroh. Selain itu ada uang tunai berbentuk 800 ribu dolar AS dalam brankas.
Atas perbuatannya tersebut, Irfan Kurnia mendapatkan keuntungan senilai Rp183.207.870.911,13; Kepala Staf Angkatan Udara (KASAU) dan Kuasa Pengguna Anggaran (KPA) Januari 2015 – Januari 2017 Agus Supriatna sebesar Rp17.733.600.000; Perusahaaan AgustaWestland sebesar 29,5 juta dolar AS atau senilai Rp391.616.035.000 dan Lejardo. Pte.Ltd., sebesar 10.950.826,37 dolar AS atau senilai Rp146.342.494.088,87.
Sehingga total kerugian negara adalah sebesar Rp738,9 miliar sebagaimana Laporan Hasil Penghitungan Kerugian Keuangan Negara atas Pengadaan Helikopter Angkut AW-101 di TNI Angkatan Udara Tahun 2016 yang dilakukan oleh ahli dari Unit Forensik Akuntansi Direktorat Deteksi dan Analisis Korupsi pada KPK Nomor: LHA-AF-05/DNA/08/2022 Tanggal 31 Agustus 2022.