Kemendes PDTT Memeriksa Pendekatan Antropologis dalam Proses Transformasi Daerah
Dalam proses merumuskan desain pembangunan dan transformasi daerah tertinggal, Kementerian Desa, Pembangunan Daerah Tertinggal, dan Transmigrasi (Kemendes PDTT) terus menyelidiki pendekatan antropologis dan sosiologis.
Dalam mengembangkan strategi untuk pembangunan dan transformasi daerah tertinggal, Kementerian Desa, Pembangunan Daerah Tertinggal, dan Transmigrasi (Kemendes PDTT) sedang mempertimbangkan pendekatan antropologis dan sosiologis. Rafdinal, Pelaksana Tugas (Plt.) Direktur Jenderal Percepatan Pembangunan Daerah Tertinggal Kemendes PDTT, mengatakan bahwa metode ini sangat penting agar rencana transformasi daerah dapat memenuhi kebutuhan masyarakat dan kondisi lokal.
Rafdinal mengatakan bahwa elemen budaya, adat, dan kearifan lokal memainkan peran penting dalam mengubah masyarakat di daerah tertinggal. Ini adalah masalah yang signifikan yang membutuhkan pendekatan yang sangat peka. Sebagai contoh, ia mengacu pada Suku Asmat, di mana tradisi nomaden masih kuat dan berdampak negatif pada angka kematian ibu dan anak. Selama perjalanan nomaden, banyak ibu melahirkan di bawah pohon, di luar fasilitas kesehatan, dengan peralatan yang sangat terbatas.
Untuk menyelesaikan masalah ini, Rafdinal menyarankan untuk membangun infrastruktur dasar di jalur yang sering digunakan oleh orang Asmat saat mereka bergerak.
Rafdinal juga memberikan perhatian khusus pada sektor perekonomian Suku Asmat. Suku Asmat memiliki potensi besar dalam seni ukir patung dari kayu merbau dan matoa, yang tumbuh di hutan pedalaman Papua, meskipun pertanian subsisten kurang efektif untuk meningkatkan kesejahteraan mereka. Karena kualitas kayu yang digunakan, produk patung ini memiliki nilai jual yang tinggi dan telah menarik perhatian pasar di luar negeri.
Rafdinal mengatakan bahwa seharusnya lebih banyak perhatian diberikan pada pembangunan industri kreatif daripada memaksa orang Asmat untuk menjadi petani. Untuk memahami potensi dan kebutuhan masyarakat lokal dan untuk meningkatkan kualitas hidup di daerah tertinggal, pendekatan antropologis dan sosiologis yang berkelanjutan diperlukan.
Sejak 2015, ada penurunan dari 13.453 desa menjadi 4.850 desa pada tahun 2023. Ini menunjukkan upaya Kemendes PDTT untuk menangani masalah di daerah tertinggal.