Menurut Waryono Abdul Ghafur, Direktur Pendidikan Diniyah dan Pondok Pesantren Kementerian Agama, pondok pesantren harus menjadi contoh teladan dalam mengatasi potensi perpecahan selama tahun politik.
Di Jakarta pada hari Selasa, Waryono menyatakan, “Bagaimana pesantren memberikan pembekalan dan menjadi contoh bahwa tahun politik tidak boleh menjadi faktor yang memecah belah masyarakat karena secara demokratis terdapat berbagai macam pilihan.”
Waryono menjelaskan bahwa dalam tradisi pesantren, perbedaan pendapat tidak dimaksudkan untuk dipertentangkan atau memecah kesatuan. Sebaliknya, perbedaan tersebut digunakan sebagai sumber kekuatan untuk saling melengkapi dan untuk studi.
Ia menunjukkan situasi di mana santri dihadapkan pada perbedaan pendapat atau pemahaman tentang fikih. Perbedaan ini kemudian akan menjadi subjek pembicaraan.
Waryono menyatakan bahwa santri akan menghargai setiap pendapat yang ada, terutama jika perbedaan tersebut didasarkan pada bukti yang kuat.
Waryono menyatakan bahwa orang-orang yang tinggal di pesantren tidak akan terkejut dengan perbedaan pendapat karena dalam kitab-kitab mereka sering kali terdapat ungkapan “terkait dengan masalah ini ada berbagai pendapat.”
Sebelum ini, Ahmad Zubaidi, Ketua Komisi Dakwah Majelis Ulama Indonesia (MUI), meminta para dai untuk berkontribusi dalam memastikan pemilihan umum yang damai.
Zubaidi menyatakan bahwa para ulama, dai, dan masjid memiliki peran penting dalam mendorong pemilu yang damai. Hal ini dilakukan sebagai langkah antisipasi terhadap potensi perpecahan dalam masyarakat.
Zubaidi menyatakan bahwa pemilihan umum sebelumnya telah memberikan pelajaran untuk melihat bagaimana proses demokrasi akan berkembang di masa depan. Hingga saat ini, perbedaan suara masih mengganggu.
Selain mendorong kontribusi para dai, Zubaidi juga menekankan pentingnya strategi dakwah, yaitu dakwah wasathiyah.
Tujuan dari dakwah wasathiyah ini adalah untuk menemukan solusi yang paling efektif untuk suatu masalah. Metode ini dapat memperkuat hubungan masyarakat.