Industri E-Commerce China Memperburuk Kondisi Ekonomi Pedagang UMKM
Industri e-commerce di China kini mengalami evolusi menjadi platform social commerce dengan melibatkan kreator konten untuk mempromosikan produk-produk penjual. Perubahan ini memaksa pedagang UMKM e-commerce berjuang keras untuk bertahan amid tingginya tekanan dari platform yang berfokus pada persaingan harga terendah.
Banyak pembeli e-commerce kini tertarik membeli barang yang dipromosikan oleh kreator konten. Sementara itu, pembeli dimanjakan dengan berbagai promo dan diskon yang disediakan oleh platform e-commerce untuk mendorong transaksi.
Meskipun strategi ini berhasil meningkatkan trafik ke platform dan meningkatkan penjualan barang murah, metode ini ternyata tidak menguntungkan bagi pedagang.
“Masa kejayaan e-commerce sudah berlalu,” kata Lu Zhenwang, operator e-commerce asal Shanghai yang sehari-harinya menangani barang-barang dari vendor kecil.
“Tahun ini kompetisi sangat ketat. Saya rasa banyak pedagang yang tidak akan bertahan dalam waktu tiga tahun ke depan,” tambahnya, seperti dilaporkan Reuters pada Senin (15/7/2024).
Margin keuntungan bagi pedagang ditekan hingga batas minimum oleh raksasa e-commerce seperti Alibaba dan JD. Ribuan pedagang kecil yang bergabung sejak ledakan e-commerce pada 2013 kini kesulitan mempertahankan bisnis mereka.
Ledakan e-commerce tersebut pernah menyumbang 27% dari penjualan ritel di China, dengan nilai transaksi mencapai 12 triliun yuan (Rp 26.691 triliun) per tahun. Namun, seiring melambatnya ekonomi, e-commerce pun mengalami kesulitan. Pertumbuhan yang dulunya dua digit diperkirakan akan turun menjadi satu digit, menurut data Euromonitor.
Selain itu, kebijakan pengembalian barang yang mudah dari platform e-commerce juga menambah beban bagi pedagang. Davy Huang, Direktur Pengembangan Bisnis di firma konsultan e-commerce Azoya, menyebutkan bahwa tingkat pengembalian barang oleh pembeli semakin meningkat. Pembeli seringkali mengembalikan barang yang dibeli impulsif setelah melihat promosi dari kreator konten, dan ketika menyadari barang tersebut tidak dibutuhkan, mereka mengajukan pengembalian.
Hal ini membuat pedagang kecil semakin sulit menanggung biaya di tengah aliran pemasukan yang tersendat.
“Pedagang juga harus menghadapi tingginya biaya akuisisi trafik dan kolaborasi dengan kreator konten untuk live streaming dan promosi,” kata Huang.
Pedagang kecil juga merasakan dampak dari banyaknya pabrik yang menjual barang langsung melalui platform e-commerce dengan harga pabrik. Profesor ekonomi dari University of Melbourne, He-Ling Shi, mengatakan bahwa banyak pedagang di Pinduoduo yang mengalami kerugian dalam dua tahun terakhir.
“Pedagang tidak memiliki harapan besar bahwa keuntungan mereka akan menutupi biaya operasional. Mereka terus menurunkan harga untuk bersaing dengan pabrik yang langsung menjual ke konsumen. Jika tidak, bisnis mereka bisa runtuh,” kata Shi.
Lu menambahkan bahwa iklim bisnis industri ini di China telah menciptakan konsep dagang baru yang disebut ‘neijuan’, yang berarti bekerja sangat keras untuk keuntungan yang kecil.
Salah satu platform e-commerce yang sukses dikenal di luar China adalah TikTok Shop, anak usaha Bytedance, yang juga diminati di Indonesia. Selain itu, ada pula Temu, aplikasi milik raksasa China PDD Holdings, yang telah diluncurkan di Indonesia sejak 2023 dan mencapai 100 juta unduhan di Google Play Store.
Selain TikTok Shop dan Temu, ada beberapa aplikasi lain yang juga memperluas bisnisnya ke luar China, seperti Shein dan AliExpress.
Menteri Koperasi dan UMKM Teten Masduki pernah menyebutkan ancaman Temu bagi UMKM di Indonesia. Menurutnya, aplikasi ini berpotensi lebih berbahaya daripada TikTok Shop karena terhubung langsung dengan 80 pabrik di China.
“TikTok masih membuka lapangan kerja melalui reseller dan afiliasi, tetapi Temu akan memangkas langsung,” kata Teten.