Menurut Badan Nasional Penanggulangan Terorisme (BNPT), ada dua alasan utama mengapa pemuda dan pelajar menjadi sasaran penyebaran radikalisme. Pertama, mereka dianggap sebagai “labil” atau sedang mencari identitas diri. Kedua, mereka dianggap sebagai regenerasi bagi kelompok radikal terorisme.
Di Tanjung Selor pada hari Kamis, Sub Direktorat Pengamanan Lingkungan BNPT, Setyo Pranowo, menyatakan, “Ada dua alasan, karena kondisi mereka masih ‘labil’ (masih mencari identitas), dan para pemuda dan pelajar dapat dijadikan regenerasi yang menjanjikan untuk terus beroperasinya gerakan kelompok radikal terorisme..”
Pernyataan tersebut disampaikan dalam upaya mencegah radikalisme di Kalimantan Utara selama kegiatan “Camping Keberagaman” yang melibatkan 50 guru kelas, guru mata pelajaran, dan guru bimbingan dan konseling dari SD/MI, SMP/MTs, dan SMA/sekolah sederajat.
Pranowo menjelaskan bahwa saat ini penyebaran ideologi radikalisme di kalangan remaja dan siswa terus meningkat, terutama melalui media sosial. Ia menyebut media sosial dan pemuda atau pelajar sebagai dua titik strategis untuk mengubah ideologi dan merekrut anggota kelompok radikal.
Kelompok yang memahami kekerasan tersebut selalu mencari kelengahan guru, masyarakat, pemerintah, dan guru untuk mempengaruhi siswa atau pemuda dan menguasai media sosial.
Direktorat Pencegahan dan Sub Direktorat Pemberdayaan Masyarakat BNPT meminta guru dan tenaga pengajar di seluruh Indonesia, terutama di Kaltara, untuk waspada terhadap gerakan ini, baik di sekolah maupun di masyarakat.
Sholehuddin, Direktur Pusat Kajian Moderasi Beragama dan dosen Universitas Muhammadiyah Jakarta, menjelaskan dalam acara tersebut bahwa peran guru sangat strategis dalam mencegah radikalisme terorisme. Ia menyatakan bahwa keluarga bukan satu-satunya faktor yang memengaruhi pendidikan agama; guru memberikan pengaruh yang lebih besar.
Penelitian yang dilakukan oleh BNPT dan Forum Koordinasi Pencegahan Terorisme (FKPT) pada tahun 2019 menunjukkan bahwa guru mengaji—capai 49,6 persen—sebagian besar memberikan pendidikan agama kepada siswa, bukan keluarga. Hal ini menunjukkan bahwa meskipun ada banyak guru yang terpapar paham kekerasan, intoleransi, ekstremisme, radikalisme, dan terorisme, siswa juga dapat terpengaruh oleh paham-paham ini melalui ruang kelas.
Acara “Camping Keberagaman”, yang melibatkan kampanye untuk damai beragama dan pembuatan video bahan ajar “berkolaborasi untuk damai beragama di sekolah”, adalah kegiatan yang direncanakan.